Jakarta, MKOnline - Advokat merupakan profesi yang tidak bisa diberikan kebebasan penuh, karena profesi advokat tunduk pada persyaratan-persyaratan tertentu untuk menjadi advokat. Hal ini disampaikan oleh Guru Besar Hukum Tata Negara UI Yusril Ihza Mahendra dalam sidang lanjutan pengujian terhadap Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat (UU Advokat), Rabu (23/3), di Ruang Sidang Pleno MK. Tiga perkara sekaligus disidangkan MK, yakni perkara Nomor 66/PUU-VIII/2010, 71/PUU-VIII/2010, serta 79/PUU-VIII/2010. Sebanyak 22 warga negara yang berprofesi sebagai advokat tercatat sebagai pemohon dalam tiga perkara ini, di antaranya Nursyahbani Katjasungkana, H. F. Abraham Amos, S.F. marbun, dan lainnya.
“Bahkan tidak semua sarjana hukum otomatis menjadi advokat, melainkan melalui pendidikan tertentu, ujian tertentu, dan melalui proses pelatihan tertentu, magang dan dilantik untuk menjadi seorang advokat. Lebih-lebih dalam UU yang baru ini ditegaskan bahwa advokat adalah suatu profesi dan penegak hukum sama seperti penegak-penegak hukum lain yang bebas dan mandiri. Oleh karena itu, sebenarnya tugas-tugas advokat adalah memberikan pelayanan publik, maka diperlukan suatu standar penilaian yang sama, etika yang sama, profesi yang sama, pendidikan yang sama sehingga memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat yang membutuhkan pelayanan hukum,” urai Yusril yang bertindak selaku Ahli Peradi sebagai Pihak Terkait dalam perkara ini.
Oleh karena itulah, lanjut Yusril, maka dengan organisasi advokat yang bersifat profesi itu tentunya, negara memiliki kewenangan untuk mengatur segala hal yang berkaitan dengan suatu organisasi profesi dapat juga dalam hal pembatasan sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28J UUD 1945. “Dengan demikian, sebenarnya wadah organisasi advokat kalau dipahami secara harfiah dalam Pasal 28I UUD 1945, sebenarnya tidaklah dapat dikatakan bertentangan dengan ketentuan UUD 1945. Karena Pemerintah dan DPR selaku lembaga yang mempunyai otoritas membentuk undang-undang berhak untuk melakukan pembatasan itu karena pembatasan itu tidak melanggar prinsip-prinsip HAM yang bersifat absolut,” paparnya.
Pada prinsipnya, jelas Yusril, semua bergantung pada praktik dalam menerapkan undang-undang ini sehingga dari telaah normatif dari UU Advokat tidak ada pertentangan dengan norma dalam UUD 1945. “Menurut kami, tidak adanya problem konstitusional, problem pengujian undang-undang, problem pertentangan antara norma undang-undang dengan norma UUD 1945 ini. Tetapi lebih merupakan pemahaman terhadap rumusan undang-undang dan melaksanakan undang-undang itu dalam praktiknya,” ujarnya.
Sementara itu, Ahli Pihak Terkait lainnya, yakni Phillipus M. Hadjon menjelaskan mengenai karakter UU Advokat sebagai penegak hukum. Jika dilihat pada UUD 1945, lanjut Phillipus, advokat termasuk ke dalam Pasal 24 ayat (3), yakni sebuah badan atau lembaga negara sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. “Dan di sini dibutuhkan syarat dasar, yakni kemandirian dan kebebasan dalam suatu kekuasaan kehakiman. Dengan fungsi demikian, bolehkah setiap advokat mendirikan organisasi sendiri-sendiri berdasarkan Pasal 28E ayat (3)? Harus diperhatikan kekhususan advokat sebagai penegak hukum karena dia terkait dengan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, menurut pendapat saya, organisasi advokat sebagai wadah tunggal adalah konstitusional,” jelasnya.
Menanggapi pernyataan ahli, Majelis Hakim mengajukan beberapa pertanyaan kepada Ahli, di antaranya Hakim Konstitusi Harjono yang mempertanyakan mengenai keharusan seorang advokat masuk dalam sebuah organisasi advokat. “Pada prinsipnya, advokat merupakan hal bersifat individu. Lantas, adakah keharusan bagi seorang advokat masuk menjadi anggota organisasi advokat? Terlepas dari organisasi advokat bersifat single bar atau multiple bar?” tanyanya.
Adnan Buyung Nasution pun menjawab bahwa memang diperlukan agar seorang advokat untuk ikut serta dalam satu organisasi advokat. “Diperlukan sebagai tanggung jawab profesi dan tanggung jawab kepada masyarakat. Kalau ada advokat yang menjalankan profesinya dengan tidak benar, ke mana masyarakat akan mengadu kalau tidak melalui organisasi. Tapi memang sejak dulu, advokat bersifat invidual seperti dokter,” jawabnya.
Dalam sidang keempat yang mengagendakan mendengarkan keterangan Saksi/Ahli Pemohon dan Pihak Terkait, para Pihak Terkait mengajukan dua orang ahli dan sembilan saksi. Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya terlanggar dengan berlakunya Pasal 28 ayat (1), Pasal 30 ayat (2) dan Pasal 32 ayat (3) dan (4). Sidang berikutnya akan digelar pada 31 Maret 2011 mendatang. (Lulu Anjarsari/mh)