Jakarta, MKOnline - Segenap pelajar SMAN 5 Tangerang bertandang ke Mahkamah Konstitusi (MK), Selasa (22/3) pagi. Kedatangan mereka diterima Peneliti MK, Fajar Laksono Soeroso di aula lantai dasar MK. Dalam kesempatan itu, Fajar Laksono menguraikan latar belakang dibentuknya MK maupun wewenang dan kewajiban yang dimiliki MK.
Membuka pertemuan itu, Fajar mengungkapkan bahwa MK Republik Indonesia dibentuk pada 13 Agustus 2003, setelah sebelumnya terjadi amandemen atau perubahan UUD 1945. Seperti diketahui, MKRI memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Kewenangan utama MKRI adalah menguji UU terhadap UUD.
Fajar menjelaskan wewenang pertama dan utama MK adalah menguji UU terhadap UUD. Dalam hal ini, peran MK hanya menguji UU terhadap UUD. Sedangkan peraturan perundang-undangan di bawah UU diuji oleh Mahkamah Agung (MA). Pengujian UU dilakukan karena dianggap merugikan hak konstitusionalitas seseorang atau pihak-pihak tertentu.
“UU yang merugikan dan melanggar hak konstitusionalitas seseorang, boleh diajukan ke MK untuk diuji oleh hakim-hakim MK. Kalau memang UU itu dianggap bertentangan dengan UUD, maka UU itu bisa dibatalkan dan dinyatakan tidak mengikat secara hukum,” jelas Fajar.
Dengan demikian, kata Fajar, UU yang dibuat oleh 560 anggota DPR bersama Pemerintah bisa dibatalkan oleh sembilan hakim konstitusi kalau melanggar UUD. Jadi itulah betapa besar kewenangan MK. Namun, hal itu jangan diartikan MK hebat, sebab semua sudah diatur dalam UUD. “UUD mendesain keseimbangan antara demokrasi dan nomokrasi. Artinya, meskipun UU sudah dibuat secara demokratis, tetapi melanggar hukum, maka UU itu bisa dibatalkan,” imbuh Fajar.
Selanjutnya, wewenang kedua MK adalah memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Misalnya, sengketa antara MA dengan KY, sengketa antara DPR dengan DPD, sengketa antara DPR dengan Presiden dan sebagainya. Kemudian ada pula wewenang ketiga MK, yaitu memutus pembubaran partai politik.
Berikutnya, sambung Fajar, wewenang keempat MK adalah memutus sengketa hasil pemilihan umum, termasuk di dalamnya mengenai sengketa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah atau pemilukada.
Selain itu, MK memiliki kewajiban memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa presiden dan/atau wakil presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan maupun tindak pidana berat lainnya. (Nano Tresna A./mh)