Demokrasi Terancam Jika Gugatan Pilkada Kembali ke PT
JAKARTA – Sikap pemerintah dinilai tidak konsisten terkait penyelesaian sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada). Dulu, kewenangan penyelesaian perkara pilkada dipindahkan ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena penyelesaian di Pengadilan Tinggi (PT) menimbulkan beberapa keributan. Tapi sekarang, pemerintah berupaya mencabut kewenangan itu dari MK untuk dikembalikan ke Pengadilan Tinggi. ”Kalau kewenangan itu kembali ke Pengadilan Tinggi, berarti pemerintah tidak konsisten. Para pejabat itu tidak belajar dari pengalaman lalu,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Ashiddiqie, kemarin.
Dia menilai penyelesaian sengketa Pilkada di MK sudah cukup efektif, yakni diputus dalam waktu 14 hari dan keputusan itu bersifat mengikat. Bandingkan dengan penanganan di Pengadilan Tinggi sebelumnya yang berlarut-larut dan menimbulkan gugatan hukum lanjutan, sehingga penyelesaian sengketa berlarut-larut dan dikhawatirkan menimbulkan ketidakpastian hukum. Seperti diberitakan kemarin, dalam draft Rancangan Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) yang disusun Kemendagri versi bulan Februari 2011 disebutkan penyelesaian sengketa hasil pilkada tidak lagi mencantumkan MK. Kemendagri menyebut posisi Pengadilan Tinggi (PT) sebagai lembaga yang berwenang untuk memutus perselisihan hasil dalam pilkada.
Jimly menyatakan tidak setuju kewenangan Mahkamah Konstitusi mengadili sengketa pilkada dicabut. Jika pemerintah atau pengamat melihat kerja mahkamah berjalan kurang baik, katanya, tidak seharusnya kewenangannya dikurangi. Tapi mencari jalan untuk memperbaiki kerja yang kurang lancar itu. ”Pejabat yang punya ide mencabut kewenangan MK dalam menangani sengketa pilkada pasti hanya melihat kekurangan dari permukaan, tapi tidak mengerti inti masalahnya,” kata Jimly. Dia melanjutkan, jika kewenangan MK menangani sengketa pilkada dicabut, maka tugas MK akan sangat ringan. Perkara yang ditangani MK bakal menjadi sangat sedikit, karena selama ini perkara terbanyak yang masuk adalah sengketa pilkada. Sejak 2003 hingga 2011, hanya 519 perkara yang diadukan masyarakat ke MK terkait pengujian atau judicial review undang-undang. Sementara itu, Ketua MK Mahfud MD mengaku paham alasan Kemendagri untuk mengembalikan kewenangan sengketa pilkada ke pengadilan umum. Sebagai Ketua MK, Mahfud menyatakan tak berwenang menanggapi pengalihan wewenang tersebut.
MK menyerahkan masalah itu kepada pembuat undang-undang. ”Mahkamah tak boleh mendukung atau menolak rencana itu, sebab mahkamah yang akan menilai isi undangundang. MK boleh menilai jika sudah menjadi undang-undang,” kata Mahfud. Dia hanya mengingatkan agar lembaga manapun yang diberi kewenangan mengadili pemilihan kepala daerah hendaknya diberi wewenang untuk menilai proses secara bebas. ”Demokrasi di Indonesia dalam bahaya jika dibiarkan seperti ini terus, yaitu sangat transaksional dan banyak tipu muslihat,” kata Mahfud. (dri)
Sumber: www.indopos.co.id