Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak untuk seluruhnya permohonan yang diajukan oleh Lily Chadijah Wahid. Demikian amar putusan yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD yang didampingi oleh tujuh orang hakim konstitusi lainnya, Jumat (11/3), di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara ini yang memohonkan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3), dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU Parpol) teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 38/PUU-VIII/2010.
Dalam pendapat Mahkamah, hakim konstitusi menjelaskan bahwa keinginan untuk memberdayakan partai politik telah tercermin dalam Perubahan UUD 1945 dengan dicantumkannya berbagai ketentuan yang berkaitan dengan partai politik, antara lain, dalam Pasal 6A ayat (2), Pasal 8 ayat (3), dan Pasal 22E ayat (3). Menurut Mahkamah, salah satu upaya dalam rangka memberdayakan partai politik adalah dengan memberikan hak atau kewenangan kepada partai politik untuk menjatuhkan tindakan dalam menegakkan disiplin terhadap para anggotanya, agar anggota bersikap dan bertindak tidak menyimpang, apalagi bertentangan dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART), serta kebijaksanaan, dan program kerja yang digariskan oleh partai politik yang bersangkutan.
“Hal ini adalah konsekuensi logis dari seseorang yang menjadi anggota suatu organisasi, dalam hal ini organisasi partai politik. Penegakan disiplin partai sangat menentukan dalam mewujudkan program kerja partai yang telah ditawarkan oleh partai politik tersebut dalam kampanye pemilihan umum. Selain itu, disiplin partai juga sangat diperlukan dalam membangun dan memantapkan tradisi partai. Meskipun demikian, kewenangan partai politik untuk melakukan tindakan pendisiplinan kepada para anggotanya haruslah diatur di dalam Undang-Undang dan peraturan perundang-undangan yang terkait sesuai dengan prinsip demokrasi dan hukum (nomokrasi). Dalam kaitan ini UU 2/2008 telah mengatur hal tersebut, sehingga secara prinsip adanya norma yang mengatur tindakan pendisiplinan terhadap anggota partai politik, termasuk anggota partai politik yang menjadi anggota DPR, tidaklah bertentangan dengan konstitusi. Lebih dari itu, Pasal 22B UUD 1945 memungkinkan pemberhentian anggota DPR dari jabatannya yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam Undang-Undang,” jelas hakim konstitusi.
Selain itu, lanjut hakim konstitusi, seorang warga negara yang memilih dan bergabung dalam partai politik tertentu dengan sendirinya secara sukarela menundukkan diri, terikat,dan menyetujui AD/ART partai politik yang bersangkutan. Setiap anggota DPR yang mewakili partai politik harus memiliki integritas yang baik pula, dan pada gilirannya harus memberikan pertanggungjawaban (akuntabiltas) sampai sejauhmana komitmen dan kinerjanya. Anggota DPR dicalonkan oleh partai tertentu, dengan demikian merupakan representasi partai politik di DPR.
“Dalam rangka menegakkan otoritas dan integritas partai politik, maka partai politik dapat mengusulkan kepada pimpinan DPR untuk memberhentikan (recall) dan melakukan PAW terhadap anggota partai politik yang menjadi anggota DPR, karena dianggap melanggar AD/ART. Jika partai politik tidak diberi wewenang untuk menjatuhkan sanksi (tindakan) terhadap anggotanya yang menyimpang dari AD/ART dan kebijaksanaan partai, maka anggota partai bebas untuk berbuat semena-mena,” urai Mahkamah.
Meskipun partai politik berwenang melakukan PAW bagi anggotanya yang bertugas sebagai anggota DPR/DPRD namun di dalam pelaksanaannya haruslah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang (vide Pasal 22B UUD 1945) dan AD/ART partai politik yang bersangkutan, sehingga tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenang atau dengan cara melanggar hukum. Jika hal itu dilakukan maka anggota partai politik yang bersangkutan dapat melakukan upaya hukum baik melalui peradilan tata usaha negara maupun melalui peradilan umum. “Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum yang diuraikan di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon tidak beralasan menurut hukum. Meskipun substansi pokok permohonan a quo sudah diputus dalam perkara sebelumnya (Putusan Nomor 008/PUU-IV/2006, bertanggal 28 September 2006) sehingga permohonan a quo ne bis in idem dan permohonan seharusnya tidak dapat diterima, tetapi karena pokok permohonan a quodimuat di dalam Undang-Undang yang berbeda dari Undang-Undang yang telah diputus terdahulu, maka permohonan a quo harus dinyatakan ditolak,” papar hakim konstitusi.
Oleh karena itu, dalam konklusi, Mahkamah menyimpulkan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. "Dalil-dalil Pemohon tidak berdasar dan tidak beralasan menurut hukum,” tandas Mahfud. (Lulu Anjarsari/mh)