Jakarta, MKOnline - Belakangan muncul kembali perbincangan yang mempertanyakan hakikat penelitian hukum itu, termasuk suatu penelitian ilmiah atau bukan. Ada tiga pengertian yang harus dipahami bila orang hendak mempelajari secara tuntas metode penelitian hukum. Pertama, orang harus paham terlebih dulu makna penelitian.
“Penelitian adalah suatu kegiatan bertujuan serta berprosedur atau bermetode. Pencarian ini bisa berlangsung secara spekulatif untuk memperoleh simpulan-simpulan dan bisa pula bersiterus sebagai pencarian di alam empirik untuk kerja pengujian dan pembuktian atas simpulan-simpulan spekulatif,” ungkap Guru Besar Emeritus Universitas Airlangga, Soetandyo Wignjosoebroto dalam kegiatan Forum Group Discussion (FGD) di lingkungan pegawai Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (10/3) siang.
Soetandyo melanjutkan, memang banyak pengetahuan manusia yang diakui kebenarannya, dapat digunakan menjawab berbagai pertanyaan dan permasalahan. Tetapi pengetahuan-pengetahuan seperti itu, bila tidak diperoleh melalui prosedur metodologis seperti diprasyaratkan berdasar tradisi sains, tidak akan bisa diklaim sebagai kebenaran yang terverifikasi dan terbilang sebagai scientific search and research.
Terkait metode penelitian hukum, lanjut Soetandyo, yang kedua mengenai makna metode itu sendiri. Arti harfiah metode adalah cara, sebagai cara mencari dan menemukan pengetahuan yang benar yang dapat dipakai untuk menjawab suatu masalah. Dalam kegiatan keilmuan, cara pencarian ini sangat dikontrol dengan ketat, penuh disiplin, demi memperoleh hasil informasi serta simpulan-simpulan yang dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya menurut tolok ukur sains.
Selanjutnya yang ketiga adalah makna hukum - yang ditaruh sebagai objek kajian dan penelitian bermetode sains - adalah suatu konsep yang sesungguhnya multi interpretatif. Pada dasarnya, hukum bisa dilihat dari dua sisi dengan menghasilkan dua pengertian. Pertama, pengertian perspektif epistimologik yang jelas-jelas dualistik. Kedua, pengertian hukum sebagai norma yakni statement-statement yang bersubstansi pengharusan, dengan pencantuman sanksi-sanksi sebagai akibat yang logis dari tidak dipatuhinya sanksi-sanksi itu.
Pada kegiatan FGD yang mengusung topik “Penelitian Hukum: Tentang Hakikatnya Sebagai Penelitian Ilmiah’ itu juga dilakukan acara tanya jawab. Di antaranya ada yang menanyakan keharusan penelitian menemukan hal baru atau tidak. Menurut Soetandyo, anggapan bahwa penelitian harus menemukan sesuatu yang baru, sah-sah saja. “Biasanya sering dialami para mahasiswa yang melakukan penelitian di kampus. Penelitian-penelitian yang menemukan hal baru biasanya bersifat keilmuan, bukan untuk memecahkan masalah atau kasus tertentu. Memang terkadang para dosen yang mengajar mahasiswa S2, meminta melakukan penelitian untuk menemukan hal baru, meski hal itu sulit,” ujarnya.
Penemuan baru sebagai hasil penelitian, kata Soetandyo, dikenal sebagai grand theory atau ‘teori besar’. Dalam satu abad, seorang peneliti atau ilmuwan biasanya hanya mampu menemukan satu sampai tiga ‘teori besar’ tersebut. “Tapi kalau saya sebagai dosen, saya puas kalau mahasiswa saya memberi jawaban yang lain dari yang lain, ada sesuatu yang unik. Biasanya hal itu muncul bila dimulai dengan keraguan pada sesuatu, ‘apa iya begitu, betulkah seperti itu?’. Hingga muncul penemuan baru yang tak disangka-sangka,” tandas Soetandyo. (Nano Tresna A./mh)