Jakarta, MKOnline - Negeri ini diambang kehancuran. Karena, pembiaran terhadap ketidakadilan sudah sangat merajalela. Jika ini terus berlanjut, maka kehancuran dan stempel ‘negara gagal’ bukanlah hal yang tak mungkin disematkan pada Indonesia. Untuk itulah dibutuhkan para cendekiawan dan intelektual yang dapat melakukan pembenahan dan perubahan.
“Cendekiawan adalah pertemuan antara otak dan watak yang cerdas berdasarkan iman dan takwa,” ujar Ketua Mahkamah Konstitusi Moh. Mahfud MD, Kamis (3/3), di Jakarta Convention Center (JCC). Hal itu disampaikan oleh Mahfud saat memberikan orasi ilmiah dihadapan Rektor dan Senat Universitas Nasional (Unas) dalam acara wisuda Unas periode I tahun akademik 2010/2011. Saat itu Mahfud menyampaikan orasi berjudul “Demokrasi dan Nomokrasi sebagai Pilar Penyangga Konstitusi”. Dalam orasinya Mahfud menekankan tentang amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjunjung tinggi etika akademik.
Menurut Mahfud, seorang intelektual atau cendekiawan adalah seorang terpelajar yang bertindak dengan kecerdasan akal dan kemuliaan akhlak. Untuk menghasilkan lulusan perguruan tinggi yang memiliki kapasitas seperti ini, lanjut Mahfud, harus ditopang oleh dua pilar akademik, yakni dipatuhinya norma akademik dan dilaksanakannya tradisi akademik.
“Norma akademik itu aturan-aturan yang bisa menentukan seseorang lulus apa tidak, dengan mencapai nilai tertentu dan syarat akademik tertentu,” jelas Mahfud. Tapi sayangnya, menurut Mahfud, kini perguruan tinggi menjamur di mana-mana namun masih banyak pula perguruan tinggi yang tidak peduli terhadap norma akdemik. Contohnya, perguruan-perguruan tinggi yang menjual ijazah. “Yang ambil ijazah tidak tahu malu, perguruan tingginya juga tak tahu malu,” selorohnya.
Sedangkan tradisi akademik, kata Mahfud, adalah kegiatan-kegiatan ilmiah yang sifatnya tidak terstruktur atau tidak ada dalam kurikulum. Tradisi akademik ini, diantaranya berupa: penerbitan jurnal, seminar, diskusi-diskusi, bedah buku, kunjungan antar kampus, atau stadium general. “Itu semua tradisi akademik yang menopang mutu lulusan perguruan tinggi,” ungkapnya.
Mahfud berpendapat, gabungan antara norma akademik dan tradisi akademik itulah yang akan melahirkan para cendekiawan dan intelektual di Indonesia nantinya. “Cendekiawan adalah (orang) yang menggabungkan kemampuan analisis kemudian melahirkan teori, atau ahli teori; sekaligus dia memahami penerapan norma-norma,” jelasnya.
Di akhir orasinya, Mahfud pun berpesan kepada 693 wisudawan dan wisudawati yang hadir saat itu. “Jadilah cendekiawan intelektual,” tegasnya. “Jangan pulang bawa ijazah lalu bilang saya sudah sarjana. Tak ada gunanya itu. Tapi jadilah sarjana intelektual yang cendekia.” (Dodi/mh)