Jakarta, MKOnline - Indonesia adalah negara kesejahteraan (welfare state), yang menurut Moh. Hatta disebut sebagai ‘negara pengurus’. Mengenai negara kesejahteraan, hal itu sejalan dengan kalimat, “Untuk memajukan kesejahteraan umum …” dan seterusnya. Sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945.
Demikian disampaikan Hakim Konstitusi M. Alim, saat memberi kuliah singkat kepada Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) se-Kabupaten Subang, yang berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (3/3) siang.
Terkait negara kesejahteraan, ungkap Alim, hal itu dilatar belakangi kondisi ekonomi di Eropa pada abad ke-18. Setelah Revolusi Perancis, timbul keinginan kuat dari rakyat agar negara tidak banyak ikut campur dalam kehidupan ekonomi dan sosial. Bahwa negara hanya bertindak bila ada gangguan keamanan, atau dikenal dengan istilah ‘negara jaga malam’.
“Sedangkan dalam kehidupan ekonomi, negara sama sekali tidak boleh campur tangan, sesama anggota masyarakat bebas melakukan perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Posisi pekerja yang tidak seimbang dengan majikan, menyebabkan majikan menentukan perjanjian kerja yang tidak adil,” urai Alim kepada para guru PKn.
Alhasil, masyarakat Eropa ketika itu mulai mendesak agar negara, dalam hal ini pemerintah, ikut aktif dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Pemerintah negara harus mengatur ketentuan-ketentuan yang menyangkut kepentingan umum, misalnya menentukan syarat-syarat kerja yang manusiawi seperti hak cuti, jam istirahat, upah yang layak, jaminan pensiun dan sebagainya.
Dengan demikian, pemerintah diwajibkan selain mengurusi pertahanan dan keamanan, juga wajib mengurusi pendidikan, kepemudaan, olahraga, perekonomian, kesehatan, lingkungan hidup, kesenian, kebudayaan, dan sebagainya. Oleh sebab itu, pekerjaan pemerintah negara menjadi kompleks. “Itulah ciri negara kesejahteraan yang biasa juga disebut sebagai negara hukum modern,” ucap Alim.
Sedangkan dalam ajaran Islam, jelas Alim, pemimpin satu kaum termasuk pemerintah adalah pelayan dari kaum itu sehingga pemimpin atau pemerintah negara Madinah yang ditata berdasarkan hukum Islam adalah pelayan dari rakyat negara Madinah, yang berarti pula negara Madinah adalah negara kesejahteraan.
Lebih lanjut, Alim juga menerangkan pengertian mengenai negara republik, negara demokrasi dan negara hukum, makna demokrasi dan nomokrasi, maupun hal-hal yang menjadi wewenang dan kewajiban Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI). Seperti diketahui, wewenang MK adalah menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
“Kemudian yang menjadi kewajiban MK, memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut UUD,” kata Alim yang juga menyebutkan bahwa hal itu sesuai dengan Pasal 10 Ayat (2) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. (Nano Tresna A./mh)