Jakarta, MKOnline - Para mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Surya Kencana, Cianjur, mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (2/3) pagi. Tujuan kedatangan mereka, selain ingin melihat langsung persidangan MK, berbagai fasilitas maupun pola kerja MK, juga untuk mendengarkan kuliah singkat yang disampaikan Hakim Konstitusi, Hamdan Zoelva.
Dalam kesempatan itu, Hamdan antara lain menjelaskan panjang lebar mengenai wewenang dan kewajiban MK. Seperti diketahui, wewenang pertama MK adalah menguji UU terhadap UUD. Menurut Hamdan, gagasan pengujian UU ini sebetulnya dilatarbelakangi oleh Kasus Marbury vs Madison (1803), yang membatalkan ketentuan yang berkaitan dengan pengangkatan hakim (judiciary Act 1789) dan menjadi dasar kewenangan judicial review Supreme Court Amerika Serikat.
Bertahun-tahun kemudian muncul gagasan Hans Kelsen (1919). Menurut Kelsen, agar ketentuan konstitusi sebagai hukum tertinggi dapat dijamin pelaksanaannya, diperlukan organ yang menguji suatu produk hukum bertentangan atau tidak dengan konstitusi. Hingga setahun kemudian dibentuklah Mahkamah Konstitusi pertama di dunia, di Austria (1920).
Sedangkan di Indonesia, perkembangan gagasan pengujian undang-undang terhadap UUD, pada mulanya diusulkan Moh. Yamin dalam sidang BPUPK agar Balai Agung (Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk membanding undang-undang. Namun Soepomo tidak setuju karena UUD yang disusun tidak menganut Trias Politica dan belum banyak sarjana hukum yang memiliki pengalaman itu. Tahun 1970-an Ikatan Sarjana Hukum di Indonesia mengusulkan agar Mahkamah Agung diberi wewenang menguji undang-undang. Sampai akhirnya terjadi Amandemen UUD 1945, lalu dibentuk Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) pada 13 Agustus 2003.
Selanjutnya, ungkap Hamdan, wewenang kedua MK adalah memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara. Bila ada sengketa antara lembaga negara, misalnya sengketa antara DPR dengan Presiden, sengketa antara DPR dengan DPD, sengketa antara MA dengan KY, maka MK berperan mendudukkan persoalan siapa yang paling berwenang sesuai UUD untuk suatu urusan negara. “Itulah yang dimaksud dengan sengketa antara lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD,” imbuh Hamdan.
Terkait wewenang kedua MK itu, jelas Hamdan, konstitusi membatasi sedemikian rupa bahwa hanya lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD. Kalau kewenangan lembaga negara tidak diberikan oleh UUD, maka lembaga negara itu tidak bisa bersengketa di MK. Misalnya KPK, tidak bisa berperkara di MK kalau terjadi sengketa dengan lembaga lain. Karena KPK dibentuk berdasarkan UU dan kewenangannya tidak diberikan oleh UUD.
Kemudian yang merupakan wewenang ketiga MK, memutus pembubaran partai politik. Hal ini pun, ujar Hamdan, menyangkut konstitusi. “Kenapa? Karena salah satu elemen mendasar demokrasi adalah partai politik, sebagai kebebasan berserikat dan berorganisasi. Kalau wewenang ini diserahkan kepada pemerintah untuk membubarkan partai politik, maka suatu saat pemerintah bisa membubarkan parpol yang tidak disukainya,” papar Hamdan.
Seperti terjadi pada masa Bung Karno, karena tidak suka dengan Partai Masyumi dan PSI yang sering mengkritiknya, mala dicari-carilah alasan untuk membubarkan Partai Masyumi. Misalnya, dikatakan Partai Masyumi dan PSI ikut serta dalam pemberontakan Permesta. Alhasil tahun 1960 Soekarno membekukan Partai Masyumi dan PSI.
Lebih lanjut, Hamdan juga menguraikan wewenang keempat MK yaitu memutus sengketa hasil pemilihan umum, termasuk di dalamnya mengenai sengketa pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah (pemilukada). Selain itu, menjelaskan satu kewajiban MK yang wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela. (Nano Tresna A./mh).