Jakarta, MKOnline - Mahasiswa Universitas Bandar Lampung mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (28/2). Dalam kunjungan tersebut, Hakim Konstitusi, M. Akil Mochtar memberikan materi seputar hukum, demokrasi, dan kaitannya dengan kewenangan MK.
Akil Mochtar dihadapan sekitar 200 mahasiswa menyampaikan bahwa negara yang konstitusional haruslah merupakan negara yang demokratis. Oleh sebab itu, pemimpin negara yang demokratis bukanlah orang melainkan sistem. Dengan begitu seseorang yang menjadi pemimpin tidak bisa menggunakan kekuasaannya untuk mencari keuntungan pribadi.
Dulu, masih menurut Akil, seseorang dapat menggunakan hukum untuk mencari kekuasaan. Namun saat ini, Indonesia sebagai negara hukum haruslah sesuai konstitusional demokrasi.
Artinya, negara harus berjalan berdasarkan demokrasi yang berbasis hukum tertinggi dan memiliki tujuan paling tinggi juga. Karena itulah, kemudian demokrasi yang berlandaskan hukum konstitusi disebut demokrasi konstitusional.
Lebih lanjut, Akil mengatakan demokrasi yang modern yakni demokrasi yang berazaskan konstitusional dan berlandaskan hukum. Tanpa hukum, demokrasi dapat berkembang ke arah yang keliru karena nantinya hukum hanya ditafsirkan sepihak oleh penguasa atas nama demokrasi. “Jadi, negara yang demokrasi adalah negara yang berlandaskan hukum. Dan negara hukum adalah negara yang demokratis. Sebab itulah disebut demokrasi konstitusional,” papar Akil menjelaskan demokrasi konstitusional.
Lebih lanjut, Akil menjelaskan demokrasi konstitusional saat ini telah berkembang konsepnya. Hukum yang menjadi landasan demokrasi kemudian memiliki syarat, yaitu hukum tersebut harus lebih dulu disepakati bersama. Karena itulah, demokrasi dan hukum dalam negara demokrasi konstitusional bagai satu sisi mata uang yang sama. Akil menegaskan, negara hukum harus demokratis dan negara demokratis harus didasari hukum. “Sepersi dua sisi mata uang yang sama, negara hukum harus demokratis, dan Negara demokratis harus berdasar hukum.,” tegas Akil.
Sebagai negara demokrasi, Indonesia juga harus memiliki pengakuan terhadap perbedaan. Hal itu lazim dilakukan oleh negara demokratis lainnya. Dengan kata lain, negara demokratis haruslah memerhatikan hak-hak konstitusional setiap warganya, termasuk warga minoritas. Sebab, hak konstitusional warga negara itu dijamin oleh UUD 1945.
Kehadiran MK melalui kewenangannya mampu “memperjuangkan” hak konstitusional seseorang yang dilanggar. “Di dalam undang-undang, diatur siapa saja bias menguji suatu undang-undang ke MK. Yang dapat menguji masyarakat hukum adat, badan hukum, lembaga negara, bahkan perorangan. Meski satu orang saja yang melakukan pengujian, hasil keputusannya berlaku untuk semua warga negara. Karena keputusan MK bersifat erga omnes, berlaku untuk semua,” tukas Akil. (Yusti Nurul Agustin/mh).