Jakarta, MKOnline - Popa Nicolae, warga kelahiran Rumania yang tinggal di Kerobokan, Bali, dinilai MK tidak punya legal standing untuk mengujikan UU MK dan UU Ekstradisi. Karena itu, dalam putusannya yang dibacakan Senin (28/2/2011), permohonannya dinyatakan tidak dapat diterima.
Pemohon adalah warga negara Rumania yang telah menetap di Indonesia sejak tanggal 11 Juni 2000 sampai dengan sekarang, dengan Kartu Ijin Tinggal Tetap (KITAP) dari Kantor Imigrasi Ngurah Rai dengan Nomor 2D1E1.005-E yang berlaku sampai dengan 18 Januari 2011. Oleh karena itu, Pemohon telah 10 (sepuluh) tahun menetap dan bertempat tinggal di Indonesia.
Pada tanggal 19 Oktober 2009, Pemerintah Indonesia menerima Surat Interpol Bucharest dengan Nomor 9122/BCF/OMD. Perihal permohonan pencarian, penangkapan, dan ekstradisi atas nama Pemohon. Tanggal 2 Desember 2009 bertempat di Hotel Grand Hyatt Jakarta, Pemohon ditangkap oleh penyidik Direktorat II/ Eksus Bareskrim Polri berdasarkan Surat Perintah Penangkapan Nomor Pol SP.Kap/65/XlI/2009/Dit II Eksus tertanggal 1 Desember 2009 (vide Bukti P4).
Berdasarkan Surat Perintah Penahanan Nomor Pol: SP.Han/37/XII/2009/Dit II Eksus (vide Bukti P-4), bertanggal 2 Desember 2009, Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan dalam rumah tahanan negara di Mabes Polri selama 20 hari terhitung sejak 3 Desember 2009, sampai dengan 22 Desember 2009, karena diduga telah melakukan tindak pidana penipuan berdasarkan Red Notice dari Interpol dengan Nomor
Surat 2009/29089 dan/atau penyalahgunaan keimigrasian sesuai dengan UU 9/1992 tentang Keimigrasian. Ini tanpa adanya permintaan penahanan sementara dari Pemerintah Rumania.
Karena itu, Popa ingin mengujikan Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK, Pasal 34 huruf b, Pasal 35 ayat (1), dan Pasal 39 ayat (4) UU No. 1/1979 tentang Ekstradisi. Perpanjangan penahanan terhadap Pemohon yang didasarkan pada Pasal 34 huruf b dan Pasal 35 ayat (1) UU Ekstradisi dianggap merugikan hak konstitusional Pemohon.
Pasal 51 ayat (1) huruf a UU MK menyatakan, “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara”.
Pasal 34 UU Ekstradisi berbunyi “Penahanan yang diperintahkan berdasarkan Pasal 25 dicabut, jika: b. sudah berjalan selama 30 (tiga puluh) hari kecuali jika diperpanjang oleh Pengadilan atas permintaan Jaksa. Kemudian Pasal 35 ayat (1) “Jangka waktu penahanan yang dimaksud dalam Pasal 34 huruf b setiap kali dapat diperpanjang dengan 30 (tiga puluh) hari".
Dalam pertimbangan hukumnya, MK tetap mengacu pada Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta penjelasannya yang sangat tegas dan jelas (expressis verbis) yang menyatakan bahwa perorangan yang berhak mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 (yang berarti mempunyai hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945) hanya Warga Negara Indonesia (WNI) sedangkan Warga Negara Asing (WNA) tidak berhak.
“Konklusi, pokok permohonan tidak dipertimbangkan, amar putusan menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima,” ujar Mahfud MD. (Yazid/mh)