Jakarta, MKOnline - Timbulnya kecurigaan dan prasangka terhadap kinerja Mahkamah Konstitusi (MK), hingga munculnya dugaan korupsi di MK beberapa waktu lalu, harus dianggap sebagai bagian dari proses berdemokrasi di Indonesia.
“Itulah demokrasi bahwa rakyat memiliki hak untuk mengawasi MK. Jadi kalau misalnya ada dugaan korupsi di MK, tinggal laporkan saja ke KPK atau polisi,” kata Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menjawab pertanyaan salah seorang anggota KPU Semarang dalam kunjungannya ke MK, Senin (28/2) siang.
Oleh karena itu, MK mengarahkan agar dibentuk tim untuk menangani dugaan korupsi di MK, yang bertujuan untuk mengeksplor dan menggali soal-soal yang lebih menyeluruh, baik pelanggaran yang bersifat pidana maupun pelanggaran yang bersifat etika.“Kalau pelanggaran yang bersifat pidana, itu bukan peran MK untuk menanganinya. Karena itulah MK menyerahkan penanganan dugaan korupsi itu ke KPK,” jelas Fadlil kepada para anggota KPU Semarang.
Namun demikian, kalau pelanggaran yang bersifat etika, itulah yang menjadi ranah MK. Itulah sebabnya, terkait dugaan korupsi tersebut, maka MK membentuk Panel Etik yang kemudian merekomendasikan supaya dibentuk Majelis Kehormatan Hakim.
Lebih lanjut, Fadlil juga menanggapi pertanyaan anggota KPU Semarang mengenai kesenjangan antara hukum yang tertulis dalam buku dengan hukum praktis yang menjadi nilai-nilai dalam masyarakat.
“Kesenjangannya supaya dikurangi, supaya kesenjangannya tidak jauh-jauh. Cara menguranginya, misalnya dengan adanya pengadilan. Kalau ada hal-hal yang sudah bersifat merusak, supaya dapat diperbaiki. Pengadilan itu harus memulihkan hak-hak yang terdapat dalam hukum tadi, supaya tidak ada kesenjangan,” urai Fadlil.
Dalam kesempatan itu Fadlil menerangkan mengenai pengertian ‘Indonesia merupakan negara hukum yang demokratis’ yang diikatkan pada satu soal yaitu rakyat. Hal itu dapat dilihat dari hubungan antara negara dengan rakyat, negara dengan warga negara. Kalau dulu, sesuai perspektif teori Weber atau Austin, hubungan antara negara dengan rakyat didasarkan pada status.
“Berbeda dengan sekarang, menduduki suatu posisi tidak berdasarkan status seseorang. Dalam tataran implementasinya, semua orang bisa menjadi walikota, gubernur dan sebagainya,” ungkap Fadlil.
Selain itu, Fadlil memaparkan kewenangan MK yakni meguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilihan umum, serta kewajiban MK memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan maupun tindak pidana berat lainnya. (Nano Tresna A./mh)