Jakarta, MKOnline - Sejumlah anggota Madia (Masyarakat Dialog Antar Agama) - lembaga yang memiliki concern utama di bidang dialog antaragama - menemui Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD, Kamis (24/2) siang di lantai 15 Gedung MK. Kunjungan itu bertujuan menindaklanjuti pertemuan sebelumnya, terkait permasalahan administratif para penganut penghayat kepercayaan di Indonesia.
Persoalan yang disampaikan Madia memang tetaplah merupakan masalah lama dan seringkali dialami para penganut kepercayaan di Indonesia. Pengurusan KTP, surat nikah dan administrasi kependudukan lainnya masih menjadi kendala. Dalam KTP misalnya, para penganut kepercayaan diminta mengosongkan kolom agama. Padahal di beberapa daerah, ada penganut kepercayaan yang diperbolehkan mengisi kolom agama di KTP dengan kata ‘penganut kepercayaan’.
“Masalah KTP menjadi hal mendesak, apalagi direncanakan akan ada KTP elektronik. Masalah kedua adalah soal akte nikah yang berdampak kepentingan anak-anak di masa mendatang. Misalnya, berkaitan dengan urusan sekolah, kerja dan sebagainya,” ungkap Trisno Sutanto dari Madia, yang didampingi rekan-rekannya antara lain Engkus Ruswanda, Dewi Kanti, Amanda dan lainnya.
Karena itulah Madia mengadu ke MK untuk menyelesaikan masalah tersebut, agar mendapatkan jalan terbaik menangani masalah itu. Agar tidak ada kesan diskriminatif terhadap para penganut kepercayaan di Indonesia. Paling tidak, kata Trisno, MK dapat memfasilitasi pertemuan dengan pihak terkait seperti Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM), maupun Kementerian Pendidikan Nasional untuk mendapatkan jalan terbaik mengenai masalah itu.
Sementara itu, Ketua MK yang didampingi Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, berjanji akan mengupayakan pertemuan seperti yang diinginkan pihak Madia. Pertemuan yang rencananya bersifat tertutup itu diharapkan dapat menemukan solusi yang tepat untuk masalah tersebut.
Seperti diketahui, Madia lahir karena keprihatinan makin kuatnya sekat-sekat pemisah antara agama dan kepercayaan di tanah air. Perjumpaan berbagai agama dan kepercayaan di Indonesia seringkali diwarnai oleh rasa saling curiga, sikap mengunggulkan diri sendiri dan merendahkan pihak lain, ditambah lagi konflik-konflik yang menanamkan pengalaman traumatis, maupun oleh pandangan-pandangan teologis yang bersikap eksklusif penuh keangkuhan. Kesadaran itulah yang mendorong Madia mengupayakan langkah-langkah konkret bagi terjadinya dialog antaragama dan kepercayaan. (Nano Tresna A./mh)