Jakarta, MKOnline - Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) kembali dimohonkan pengujiannya ke Mahkamah Konstitusi (MK), Rabu (23/2), di Gedung MK. Perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK dengan Nomor 14/PUU-IX/2011 dimohonkan oleh Andi Maddusilla.
Andi Maddusilla tercatat pernah mencalonkan diri sebagai Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati di Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Melalui kuasa hukumnya, Kriya Amansyah, Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusionalnya terlanggar akibat berlakunya Pasal 61 ayat (1) UU Sisdiknas. Dalam Pasal 61 ayat (1) UU Sisdiknas disebutkan bahwa “ Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi”.
“Kami memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk memberikan tafsiran konstitusi dalam hal pengertian surat keterangan sebagai pengganti ijazah. Jadi secara intinya kami hanya ingin minta kejelasan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memperjelas bentuk dari ijazah. Apakah surat keterangan pernah sekolah sebagai pengganti ijazah dapat dikatakan sebagai bentuk dari ijazah?” ujar Kriya mewakili Pemohon.
Menanggapi pernyataan Pemohon, Ketua Panel Hakim Harjono mempertanyakan hak konstitusional Pemohon yang terlanggar dengan adanya surat keterangan sekolah. Harjono menjelaskan bahwa hak konstitusional adalah hak yang dijamin oleh UUD 1945.
“Umpamanya saja bertentangan Pasal 1 ayat (3) adalah negara hukum bagaimana ketentuan tersebut bertentangan dengan negara hukum, negara hukum mana yang kemudian dilanggar oleh ketentuan bahwa seorang yang tidak bisa menyerahkan ijazah, fotokopi ijazah bisa diganti dengan surat keterangan dari sekolah itu. Lalu juga Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (1) itu Pasal tentang apa? Pasal 27 ayat (1) coba Anda lihat! Anda tidak menjelaskan di sini, hanya merujuk pasalnya saja. Ini secara substansi itu yang menjadi fokus dari permohonan Anda, agar supaya paling tidak itu bisa mendorong Hakim Mahkamah Konstitusi bahwa memang perkara Anda adalah perkara yang berkaitan dengan konstitusionalitas undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, kerugiannya adalah kerugian konstitusional,” urainya.
Sementara itu, Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menjelaskan bahwa dalam permohonannya, Pemohon belum terfokus memperlihatkan kerugian konstitusionalnya. “Saya belum lihat suatu uraian yang benar-benar fokus dari Saudara. Sertifikat berbentuk ijazah dan sertifikat kompetensi ini. Di mana bertentangannya dengan Undang Undang Dasar? Jadi, coba Saudara pertajam kembali,” ujarnya.
Dalam permohonannya, Pemohon mendalilkan bahwa surat keterangan pernah sekolah sebagai pengganti ijazah digunakan pada tahapan pencalonan Pemilukada yang diselenggarakan oleh KPU Kabupaten Gowa. Akan tetapi, KPU Kabupaten Gowa meloloskan salah satu pasangan calon yang menggunakan surat keterangan tersebut pada tahapan pencalonan tanpa melakukan verifikasi kepada lembaga pendidikan yang mengeluarkan surat keterangan tersebut.
Menurut Pemohon, hal tersebut telah mencoreng dunia pendidikan karena tidak mengacu pada Pasal 61 ayat (1) UU Sisdiknas. Pemohon juga menilai jika ada alumni peserta didik yang menggunakan surat keterangan pernah sekolah sebagai pengganti ijazah telah melanggar norma yang ada pada undang-undang. Ketentuan Pasal 61 ayat (1) UU Sisdiknas merupakan pasal yang potensial dikualifikasikan merugikan alumni peserta didik yang telah menempuh jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi serta telah menempuh ujian akhir termasuk Pemohon.
Ketentuan a quo juga menguntungkan alumni peserta didik yang hanya pernah menempuh jenjang pendidikan dasar, menengah, dan tinggi tanpa pernah mengikuti evaluasi ujian akhir dan diberikan surat keterangan sebagai pengganti ijazah. Oleh karena itu, Pemohon menganggap pasal a quo tidak proporsional dan sengan sendirinya melanggar Pasal 31 ayat (1) UUD 1945. (Lulu Anjarsari/mh)