Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan terhadap UUD 1945, Selasa (22/2). Sidang tersebut mengagendakan mendengar keterangan Pemerintah, DPR, dan Saksi/Ahli dari Pemohon. Kesemua pihak hadir dalam persidangan kali itu, hanya dari DPR saja yang tidak hadir dalam pemeriksaan perkara.
Sebelumnya, untuk diketahui, perkara yang digelar MK kali ini merupakan pengujian terhadap Pasal 21 jo Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU Perkebunan. Pasal tersebut selengkapnya berbunyi, “Setiap orang dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya, penggunaan tanah perkebunan tanpa izin dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan.”
Sidang Pleno tersebut diketuai oleh Hakim Konstitusi Achmad Sodiki. Sedangkan keenam anggota pleno hakim, yaitu Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar, Hamdan Zoelva, Maria Farida Indrati, Ahmad Fadlil Sumadi, Harjono, dan Muhammad Alim.
Sedangkan dari Pihak Pemohon diwakilkan oleh kuasa hukumnya, yaitu Wahyu Wagiman, Andi Muttaqien, Wahyudi Djafar, dan Anggara. Pemohon dalam persidangan kali itu juga menghadirkan Saksi/Ahli, yaitu Nur Hasa Ismail (Guru Besar Hukum Perdata UGM) dan Eddy Hiariej (Guru Besar Hukum Pidana UGM). Hadir dalam persidangan tersebut wakil dari Pemerintah, antara lain Mualimin Abdi (Direktur Litigasi Kementerian Hukum dan HAM), Gamal Nasir (Direktur Jenderal Perkebunan), Suharyanto (Kepala Biro Hukum Kementerian Pertanian), Tjahyo Damirin (Kabag Perjanjian dan Bantuan Hukum Kementerian Pertanian), Riyaldi (Kementerian Pertanian), John Indra Purba (Kementerian Pertanian), Mukti Sarjono (Kementerian Pertanian), Heni Susila Wardaya (Kementerian Hukum dan HAM), Liana Sari (Kementerian Hukum dan HAM), dan Radita Aji (Kementerian Hukum dan HAM).
Mewakili Pemerintah, Gamal Nasir kemudian membacakan opening statement terkait permohonan Pemohon. Ia mengatakan pembentukan UU Perkebunan dilandasi atas peranan penting dan strategis subsektor perkebunan dalam pembangunan nasional, terutama untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, penerimaan devisa negara, penyediaan lapangan kerja, perolehan nilai tambah dan daya saing, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan baku industri dalam negeri, optimalisasi pengelolaan sumber daya alam secara berkelanjutan, serta perekat dan pemersatu bangsa.
Lebih lengkap, Nasir mengatakan penyelenggaran pembangunan perkebunan tersebut sejalan dengan amanat dan jiwa Pasal 33 ayat (3) UUD, yaitu bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. “Usaha perkebunan juga perlu diselenggarakan, dikelola, dilindungi, dan dimanfaatkan secara terencana, terbuka, terpadu, profesional, dan bertanggung jawab demi meningkatkan perekonomian rakyat, bangsa, dan negara,” ujarnya.
Terkait permohonan Pemohon, Nasir menyampaikan bahwa permohonan yang didalilkan oleh para Pemohon pada dasarnya merupakan permasalahan hukum yang semula terjadi karena adanya sengketa kepemilikan lahan atau tanah. Kemudian atas kejadian tersebut para Pemohon telah dijatuhi pidana berdasarkan ketentuan pasal dalam UU a quo karena telah melakukan perusakan kebun. “Menurut hemat Pemerintah bahwa jelas hal ini merupakan kewenangan peradilan umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 jo Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009,” tutur Nasir membacakan pendapat resmi pemerintah.
Masyarakat Hukum Adat
Nurhasan Ismail mendapat kesempatan pertama menyampaikan keterangannya ke hadapan Majelis Hakim MK. Nurhasan mengatakan berkenaan dengan Pasal 21 UU Perkebunan tersebut, ia melihatnya melalui dua perspektif, yaitu perspekti orthodox jurisprudence dan perspektif sociological jurisprudence. Dalam perspektif orthodox jurisprudence kesahan suatu kegiatan oleh warga negara baik perseorangan maupun badan hukum, seperti halnya dalam kegiatan usaha perkebunan, sepenuhnya ditentukan oleh adanya pengakuan dari pemerintah melalui pemberian-pemberian izin.
“Oleh karena itu, dengan mendasarkan pandangan orthodox jurisprudence ini maka Pasal 21 (UU Perkebunan, red) itu mengandung larangan melakukan pengrusakan terhadap tanaman-tanaman perkebunan, larangan untuk melakukan penggunaan, penguasaan, dan penggunaan tanah tanpa izin, ataupun tindakan-tindakan yang menyebabkan tidak dapat berlangsungnya usaha-usaha perkebunan itu,” ujarnya menerangkan. Selanjutnya dengan pandangan ini intinya masyarakat umum, termasuk masyarakat hukum adat tidak diakui keabsahannya untuk dilindungi karena dilindungi yang berijin.
Sedangkan dengan menggunakan perspektif sociological jurisprudence, Pasal 21 UU Perkebunan itu tidak mengandung pertentangan dengan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 maupun pasal-pasal yang lain. “Seharusnya diberi dengan catatan begitu ya, dengan catatan di dalam Pasal 21 itu mungkin di dalam penjelasannya harus ada penegasan bahwa larangan itu berlaku juga terhadap kegiatan-kegiatan usaha perkebunan, baik yang sah menurut pandangan pemerintah maupun yang sah menurut masyarakat hukum adat, menurut hak ulayat itu,” sarannya. Lanjut Nurhasan Ismail, semuanya harus diakui dan dilindungi negara.
Pasal 21 itu terbuka hanya untuk ditafsirkan larangan itu ditujukan kepada orang perseorangan, bukan badan hukum lainnya yang melanggar hak-hak konstitusional masyarakat hukum adat. Sehingga pandangan orthodox jurisprudence lebih dominan dalam politik hukum Indonesia.
Eddy Hiariej dalam kesempatan yang sama menjelaskan perkara ini dari sisi hukum pidana. Eddy mengatakan berkaitan dengan prinsip lex certa, ketentuan yang terdapat dalam Pasal 21 juncto Pasal 47 (UU Perkebunan) terdapat ketidakjelasan dan membuat kabur. “Tegasnya, Ahli ingin mengatakan bahwa sebetulnya pembentuk undang-undang gagal memformulasikan rumusan delik,” tegas Eddy.
Lebih lanjut, Eddy mengatakan unsur-unsur Pasal 21 tersebut tidak memiliki unsure schuldvorm atau bentuk kesalahan. Padahal, unsur tersebut harus ada dalam semua tindak pidana. Dengan lebih jelasnya, Eddy mengatakan Pasal 21 UU Perkebunan tersebut tidak jelas menentukan bentuk kesalahan dari tindak pidananya. (Yusti Nurul Agustin/mh)