Jakarta, MKonline - Proses pemakzulan Presiden setelah perubahan UUD 1945 diawali usul anggota DPR menggunakan hak menyatakan pendapat, mengenai dugaan bahwa Presiden melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya maupun perbuatan tercela.
“Apabila usul penggunaan hak menyatakan pendapat diterima rapat paripurna, DPR membentuk Panitia Khusus untuk mengkaji masalah ini dengan melakukan penyelidikan, mencari bukti-bukti, meminta keterangan saksi dan pihak-pihak terkait termasuk membicarakan dengan Presiden,” ungkap Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva saat menyampaikan orasi ilmiah “Dimensi Hukum dan Politik Dalam Proses Pemakzulan Presiden” di Fakultas Hukum (FH) Universitas Yarsi, Jakarta, Kamis (17/2) siang.
Dikatakan Hamdan lagi, jika kemudian rapat paripurna DPR - atas hasil pembahasan Panitia Khusus - menerima pernyataan pendapat DPR dengan persetujuan paling kurang 2/3 anggota DPR yang hadir dalam rapat paripurna yang dihadiri paling kurang 2/3 anggota, maka DPR mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk memeriksa dan mengadili pendapat DPR.
“Hukum acara perkara pemakzulan Presiden di MK mengikuti hukum acara yang berlaku di MK, yang diatur dengan undang-undang dan peraturan MK. Juga, MK hanya dapat memeriksa dan mengadili perkara pemakzulan Presiden apabila ada permohonan dari DPR yang menguraikan secara jelas mengenai dugaan bahwa Presiden melakukan pelanggaran hukum seperti disebutkan sebelumnya,” papar Hamdan.
Dalam kurun waktu 62 tahun setelah Indonesia merdeka, telah dua kali terjadi pemakzulan Presiden Indonesia. Pertama, pemakzulan Presiden Presiden Soekarno pada 1967. Kedua, pemakzulan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid pada 2001. Soekarno dimakzulkan MPRS setelah menerima memorandum DPR GR. Dalam pidato Nawaksara 22 Juni 1966 di hadapan MPRS, Soekarno tidak dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan Presiden mengenai pemberontakan G-30 S/PKI beserta epilognya, kemunduran ekonomi dan kemerosotan akhlak.
“Sedangkan Gus Dur dimakzulkan MPR dalam Sidang Istimewa MPR karena dianggap melanggar UUD 1945 dan GBHN. Penolakan Gus Dur untuk tidak menghadiri permintaan MPR memberikan pertanggungjawaban dalam Sidang Istimewa MPR dan pengumuman Maklumat Presiden agar membekukan MPR dan DPR, serta membubarkan Partai Golkar dianggap oleh MPR sebagai pelanggaran Presiden atas UUD 1945 dan GBHN,” imbuh Hamdan.
Dalam kesempatan itu, Hamdan menyampaikan kesimpulan bahwa sebagai negara hukum, proses pemakzulan Presiden di Indonesia harus menghormati dan menjamin tegaknya prinsip-prinsip dan elemen negara hukum. Aspek hukum atau konstitusi pemakzulan Presiden menjadi elemen mendasar dalam pemakzulan.
“Seorang Presiden tidak dapat dimakzulkan tanpa alasan dan mekanisme hukum dan konstitusi yang benar. Pada tataran inilah makna legalitas dan konstitusionalitas harus dihormati dalam pemakzulan Presiden,” tegas Hamdan.
Namun, lanjut Hamdan, aspek legalitas dan konstitusionalitas bukanlah aspek tunggal dalam pemakzulan Presiden. Bagaimanapun, pemakzulan Presiden merupakan tindakan politik, sehingga sulit dipisahkan dari aspek politik.
“Sebagai sebuah proses politik, pemakzulan Presiden sangat terkait dengan perimbangan kekuasaan, konflik politik, kekuatan-kekuatan politik yang bermain dalam proses itu serta faktor-faktor lain seperti popularitas Presiden, media massa, kondisi ekonomi dan tekanan internasional,” tandas Hamdan. (Nano Tresna A./mh)