Jakarta, MKOnline - Pengujian UU 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan [Pasal 7, Pasal 96, Pasal 262 ayat (1) huruf f, dan Pasal 263 ayat (3)] digelar MK, Kamis (17/2/2011) pukul 10.00 WIB di Ruang Pleno Gedung MK. Sidang dipimpin Achmad Sodiki dan didampingi enam hakim lainnya, minus Ketua MK Mahfud MD yang sedang berada di Yogyakarta, dan M. Arsyad Sanusi.
Sidang Pleno ini diagendakan mendengarkan keterangan pemerintah, DPR, dan saksi/ahli dari Pemohon dan Pemerintah. Perkara 43/PUU-VIII/2010 ini dimohonkan oleh M. Husain Umajohar. Sementara pihak pemerintah yang hadir adalah Irjen Pol. Joko Susilo, Kombes Indrajid, Kombes Agung Budi, Kombes Dr. Krisnanda, Kombes Giri Purwanto, Kombes Yahya, Kombes Budi Setiadi, Drs. Suroyo Alimoeso (Dirjen Perhubungan Darat), Umar Aris (Kepala Biro Hukum KSLN), Sudirman Lambali (Direktur Lalu Lintas Angkutan Jalan), Mualimin Abdi (Direktur Litigasi), Heni Susila Wardaya (Kasubdit Litigasi), Liana Sari (Kasi Litigasi), Radita Aji, Toni Prayoga, Titis Aditya, Rini Octriyani, Yulanto Araya, Martanto (Korlantas), dan Sri Utomo (Perindustrian). Sementara dari DPR, tidak satupun yang terlihat hadir.
Pemohon dalam sidang ini memohonkan mengenai ketentuan pasal-pasal yang mengatur pelanggaran lalu lintas dan angkutan umum. Pemohon misalnya menyoal ketentuan Pasal 263 ayat (3) “Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan beserta barang bukti kepada pengadilan melalui Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia”. Pasal ini oleh Pemohon dianggap tidak memberikan distribusi kewenangan yang jelas.
Dalam persidangan, Suroyo Alimoeso yang memberikan keterangan selaku pihak pemerintah, menyatakan permohonan Pemohon tidak jelas, tidak tegas, dan kabur. “Pemerintah memohon MK dapat memberikan putusan menolak permohonan, menerima ketentuan pemerintah, dan menyatakan UU tidak bertentangan dengan ketentuan UUD 1945,” pinta Suroyo.
Sementara itu, Syaidina Ali (Ahli Pemohon) yang diberi kesempatan menyampaikan pendapatnya, menyatakan bahwa UU ini (terutama pasal-pasal yang dimohonkan) dianggap kebijakannya justru dominatif. Pasal 7 Ayat (1) UU a quo berbunyi “Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dalam kegiatan pelayanan langsung kepada masyarakat dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat.
Lalu, Pasal 7 Ayat (2) bunyinya “Penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan oleh
Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi instansi masing-masing meliputi: a. urusan pemerintahan di bidang Jalan, oleh
kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang Jalan; b. urusan pemerintahan di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan;
c. urusan pemerintahan di bidang pengembangan industri Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang industri; d. urusan pemerintahan di bidang pengembangan teknologi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, oleh kementerian negara yang bertanggung jawab di bidang pengembangan teknologi; dan e. urusan pemerintahan di bidang Registrasi dan Identifikasi Kendaraan Bermotor dan Pengemudi, Penegakan Hukum, Operasional Manajemen dan Rekayasa Lalu Lintas, serta pendidikan berlalu lintas, oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia”.
Pasal lainnya yang dimohonkan adalah Pasal 262 ayat (1) huruf f, berbunyi “melakukan penyitaan surat tanda lulus uji dan/atau surat izin penyelenggaraan angkutan umum atas
pelanggaran sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c dengan membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan”. Pasal ini menurut Syaidina Ali sebagai Ahli Pemohon, di samping menunjukkan tidak adanya pembagian kewenangan yang jelas di kalangan pemerintah, juga terlalu sewenang-wenang terhadap proses hukum penyelenggaraan angkutan umum. (Yazid/mh)