Jakarta, MKOnline - Para guru yang tergabung dalam Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Grobogan, berkesempatan belajar banyak tentang Mahkamah Konstitusi (MK). Disambut Hakim Konstitusi Akil Mochtar di lantai 4 Ruang Konferensi MK, Jumat (11/2/2011), 32 orang pendidik di bidang Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) ini merasa senang dapat melihat MK lebih dekat.
Akil Mochtar dalam sambutannya menerangkan sepak terjang MK selama ini, terutama mengenai keberadaan MK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Menurutnya, ada empat hal yang melatarbelakangi dibentuknya MK. Pertama, aspek konstitusionalisme. “Konstitusi itu justru menjadi pemimpin tertinggi sebuah negara, bukan Presiden. Kepala negara hanya sebuah simbol, sebab yang mengatur sebuah negara adalah konstitusi,” kata Akil.
Alasan kedua adalah sebagai check and balances atas separation of powers (pemisahan kekuasaan) sebuah negara. Ketiga, MK dibentuk untuk mewujudkan clean government (pemerintahan yang bersih). Dan keempat, untuk melindungi hak asasi manusia (HAM). “Berbeda antara hak asasi dan hak warga negara. Hak asasi itu berkaitan dengan kemanusiaan, seperti hak untuk hidup. Sementara hak warga negara itu misalnya hak untuk memperoleh KTP, hak memilih dan dipilih, dsb,” imbuh Akil.
Akil Mochtar juga tidak luput memaparkan banyak cerita tentang empat kewenangan MK dan satu kewajibannya. Mengenai kewenangan memutus sengketa hasil Pemilukada (PHPU), Akil mengatakan sekitar 12 persen perkara yang masuk, dikabulkan MK. “Putusannya bermacam-macam, ada yang pemungutan suara ulang seluruh kabupaten, atau hanya beberapa TPS, atau hanya penghitungan ulang,” katanya.
Dalam sesi tanya jawab, Hudiono, salah seorang guru bertanya tentang alokasi anggaran 20 persen untuk pendidikan yang sampai sekarang belum terealisasi. Masalah Ujian Nasional (Unas) yang hanya diatur oleh peraturan pemerintah (PP), bukan UU Sisdiknas, juga ikut ditanyakan.
Akil pun menjawab bahwa pengalokasian anggaran 20 persen untuk pendidikan tetap harus diimplementasikan, meski prosesnya berlangsung secara bertahap hingga ke daerah. “APBD itu di samping hasil dari pendapatan asli daerah (PAD), juga dari APBN. Karena itu mestinya anggaran pendidikan terdistribusikan di sana, termasuk untuk kebutuhan pendidikan gratis di tingkat sekolah dasar,” jelasnya. Mengenai PP yang mengatur Unas, Akil meluruskan bahwa yang berhak mengujikan PP adalah Mahkamah Agung (MA), dan menurutnya PP tentang Unas di MA telah dibatalkan. “Namun memang soal Unas itu menjadi diskresi pemerintah,” katanya.
Pertanyaan dari guru lainnya mengenai biaya Pemilukada langsung yang amat besar, direspon Akil dengan memberikan gambaran tentang pemilihan kepala daerah yang harus berlangsung secara demokratis seperti termaktub dalam Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945. “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Kata “demokratis” itu bisa berbeda-beda pelaksanaannya di tiap daerah, tidak disamaratakan seperti sekarang ini. Pemilihan di Papua yang menggunakan sistem noken, itu juga dapat dibilang demokratis, tidak melulu harus dimaknai pemilihan langsung, sebab kultur masyarakatnya berbeda-beda,” ujarnya. (Yazid/mh).