Jakarta, MKOnline - Pendapat resmi Mahkamah Konstitusi (MK) terkait silang pendapat tentang status dua Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Riyanto dan Chandra Matra Hamzah, hanya akan dinyatakan dalam vonis (putusan) MK. “Karena, MK tidak boleh berpendapat terhadap satu isi undang-undang yang kontroversi di tengah masyarakat kecuali melalui perkara,” tegas Ketua MK Moh. Mahfud MD. “Sehingga sebagai hakim, (selama belum ada permohonan, maka) MK tidak tahu apakah deponeering (pengesampingan perkara) itu menghapus kesalahan atau tidak,” sambungnya.
Hal tersebut dikemukakan oleh Mahfud dalam Rapat Konsultasi Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (10/2) di ruang Diklat lt. 8 Gedung MK. Pernyataan itu merupakan jawaban atas pertanyaan yang dilontarkan oleh sejumlah anggota DPR yang hadir saat itu. Mereka mempertanyakan pandangan MK atas perbedaan tafsir (pendapat) terkait apakah deponeering atau pengesampingan perkara menghapus status tersangka seseorang (dalam hal ini Bibit dan Chandra) sebagai tersangka. Sebab, akan berkonsekuensi terhadap keikutsertaan dua pimpinan KPK itu di sidang atau rapat yang diadakan oleh DPR.
Sebelumnya, DPR (terutama Komisi III) telah menolak kehadiran Bibit dan Chandra dalam sidang di DPR yang saat itu mengundang KPK. DPR beralasan, deponeering tidak menghapus status tersangka seseorang. Dan, karena masih berstatus tersangka mereka berdua ‘tidak layak’ untuk mengikuti persidangan di DPR. Menurut DPR, pendapatnya tersebut telah dikaji secara mendalam, bahkan telah melibatkan para ahli dan pakar hukum. Namun belakangan, KPK mempertanyakan sikap DPR yang menolak kehadiran dua pimpinannya itu. Dan akhirnya, kini permasalahan pun semakin meruncing.
Dalam rapat yang dihadiri oleh seluruh hakim konstitusi tersebut, Mahfud menuturkan, meskipun selama ini banyak pihak yang meminta MK untuk berpendapat tentang hal itu, secara tegas dirinya menolak untuk memberikan tanggapan. Begitu pula jika dirinya diminta berpendapat secara personal.
Sejalan dengan sikap itu, Hakim Konstitusi Harjono juga lebih memilih diam dan tidak berkomentar apapun tentang perbedaan pandangan tersebut. Dan, dalam kesempatan itu, ia juga mengajak hakim konstitusi lainnya untuk bersikap yang sama. “Kita saling menjaga bagaimana MK harus bicara dengan putusannya,” ingatnya.
Karena menurutnya, jika hakim konstitusi ikut terlibat dalam perdebatan tersebut, maka berpotensi melanggar kode etik. “Itu satu hal yang sebetulnya tidak diperbolehkan oleh, (tidak hanya) ketentuan perundang-undangan, (tapi bahkan) kode etik pun sudah melarang,” tegas Harjono. “Kode etik itu lebih sensitif ketimbang peraturan undang-undang. Orang bisa melanggar kode etik tapi tidak melanggar undang-undang,” lanjutnya. Sikap ini, kata Harjono, diperlukan agar MK benar-benar dapat menjadi institusi yang independen.
Wajib Dilaksanakan
Tidak hanya membahas tentang isu tersebut, dalam pertemuan itu juga didiskusikan beberapa hal terkait perkembangan hukum dan politik akhir-akhir ini. Salah satunya terkait putusan MK yang hingga sekarang belum bisa dilaksanakan oleh KPU Kabupaten Kotawaringin Barat. Menanggapi hal ini, Mahfud menegaskan, bahwa putusan MK atas perkara tersebut telah berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan dan benar-benar diyakini oleh seluruh hakim, sehingga wajib dilaksanakan; terlepas dari benar dan salahnya. “Keputusan hakim itu belum tentu benar, tapi putusan hakim itu wajib diikuti,” kata Mahfud. “Agar masalah berjalan dan selesai.”
Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar menimpali, sebenarnya permasalahan itu bukanlah kewenangan MK lagi. Karena, sudah pada tahap pelaksanaan putusan. Bahkan menurutnya, KPU dan Bawaslu telah berkoordinasi serta meminta saran kepada MK untuk menindaklanjuti putusan tersebut. Dan, dalam sarannya, MK, menurut Akil, telah menegaskan bahwa KPU Kotawaringin Barat harus melaksanakan putusan itu sesuai kewenangannya.
Selain itu, dalam rapat itu juga telah dijelaskan kenapa MK lebih banyak menyelesaikan perkara Pemilukada di tahun 2010 yang lalu. Karena, menurut Wakil Ketua Komisi III DPR, Aziz Syamsudin, yang juga memimpin jalannya rapat pada saat itu, belakangan ada padangan yang menyatakan bahwa MK lebih banyak menangani perkara Pemilukada dibanding pengujian undang-undang.
Jawaban Mahfud pun sederhana. Menurutnya, pernyataan itu memang benar, namun hal itu disebabkan MK terikat oleh undang-undang. Yakni, undang-undang telah mengatur bahwa perkara perselisihan hasil Pemilukada harus diselesaikan dalam jangka waktu ‘hanya’ 14 hari. “Jika tidak diputus dalam jangka waktu itu, maka putusan MK tidak ada gunannya,” jelasnya.
Dan, tidak hanya itu, Mahfud juga beralasan, kuantitas perkara Pemilukada yang masuk ke MK memang sedang pada intensitas yang tinggi. Faktanya, ada 230 perkara Pemilukada yang masuk ke MK, dari 312 perkara yang teregistrasi di MK selama 2010. Atau dengan kata lain, 73,72 persen perkara yang diregistrasi perkara Pemilukada. Sehingga wajar jika MK lebih banyak mengadili perkara Pemilukada pada 2010 yang lalu. “Disamping itu perkara pengujian undang-undang juga tidak dibatasi jangka waktu penyelesaiannya,” ungkap Mahfud.
Usai rapat, Aziz menuturkan kepada wartawan, hasil rapat ini juga akan menjadi pertimbangan DPR dalam melakukan pembahasan terhadap tiga rancangan undang-undang, yakni RUU Mahkamah Agung, RUU Kejaksaan, dan RUU Komisi Yudisial. Menurutnya, banyak persoalan yang telah dijawab dan di-clear-kan oleh MK atas beberapa isu yang berkembang belakangan ini. “Banyak pencerahan-pencerahan. Sehingga kita semua dapat pengetahuan secara jernih dan utuh,” tuturnya. (Dodi/mh)