Jakarta, MKOnline - Dalam rangka mendukung tugas Mahkamah Konstitusi menguji konstitusionalitas Undang-Undang (UU), Pusat Penelitian dan Pengkajian (Puslitka) Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi mengadakan kegiatan diskusi terbatas (Focus Group Discussion/FGD), Selasa (8/2), siang di Ruang Rapat Lt. 11 Gedung MK. FGD kali ini mengangkat tema “Eksploitasi Pertambangan Mineral dan Batubara Untuk Kemakmuran Rakyat”.
Menurut Plt. Kepala Puslitka Muhidin, FGD tersebut diselenggarakan berkaitan dengan adanya judicial review terhadap Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambagan Mineral dan Batubara (UU Minerba) ke MK. “FGD ini dilaksanakan guna mengeksplorasi hal-hal lain yang belum terungkap dalam persidangan secara mendalam,” jelasnya. Hingga saat ini, setidaknya ada tiga perkara pengujian UU Minerba yang masih dalam proses persidangan.
Isu utama yang ingin digali dalam diskusi adalah konstitusionalitas UU Minerba, khususnya jika dikaitkan dengan ketentuan terkait perekonomian nasianal dan kesejahteraan sosial dalam konstitusi. “Bagaimana makna yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945 bila dikaitkan dengan eksploitasi minerba yang terjadi di Indonesia saat ini,” kata Muhidin.
Untuk menggali dan membedah persoalan tersebut, pihak Puslitka MK telah menghadirkan tiga pakar untuk menjelaskan dan memberikan gambaran secara utuh permasalahan tersebut dari segala aspek, yakni hukum bisnis, hukum lingkungan maupun hak masyarakat adat. Para narasumber pada kesempatan itu adalah Staf Pengajar Hukum Bisnis Universitas Gadjah Mada Prof. Nindyo Pramono, Staf Pengajar Hukum Lingkungan Universitas Airlangga Dr. Suparto Wijoyo, dan Pemerhati Lingkungan Sandra Moniaga.
Dalam diskusi yang diikuti oleh para Panitera Pengganti dan Peneliti di MK ini, terungkap berbagai permasalahan dan ketidakkonstitusionalitasan UU Minerba. Menurut Nindyo, jika harus memilih pengaturan mana yang lebih tepat antara penguasaan tambang dengan kontrak karya atau Izin Usaha Pertambangan (IUP) maka lebih tepat adalah melalui IUP. Karena dalam konteks IUP, sambungnya, setidaknya posisi negara (baca: Pemerintah) lebih berdaulat dibandingkan dengan kontrak karya. “Dalam kontrak karya itu kedudukan sejajar. Hal ini sama saja dengan mereduksi posisi negara,” imbuhnya. “Negara diturunkan martabatnya.” Dalam UU Minerba saat ini diatur dengan cara IUP.
Namun, menurut Suparto, jika ditinjau dari aspek hukum lingkungan, UU Minerba sudah menyimpang jauh dari semangat konstitusi bahkan Pancasila. “UU Minerba ini pengkhianatan dan pengingkaran terhadap konstitusi,” imbuh Suparto. Alasannya, salah satunya adalah, dalam UU Minerba mengatur pidana bagi para setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan usaha pertambangan dari pemegang IUP. Menurut Suparto, pengaturan dengan model seperti itu adalah pengaturan yang tidak pro rakyat. “Berjiwa kolonialis,” tegasnya.
Sedangkan Sandra, meninjau UU Minerba dari aspek pemenuhan Hak Asasi Manusia-nya, terutama dari segi hak masyarakat adat. Ia menyimpulkan, substansi UU Minerba tidak sesuai dengan substansi pasal-pasal tentang hak asasi manusia, hak ekonomi rakyat, dan hak masyarakat hukum adat sebagaimana diatur dalam konstitusi. “Rumusan pasal-pasal tentang masyarakat adat, hak-haknya atas tanah dan kekayaan alam lainnya dalam UUD 1945 kurang memadai,” ungkapnya.
Di akhir diskusi, Suparto pun menyarankan, sebaiknya kedepan ada Umbrella Act terkait UU yang mengatur tentang penguasaan kekayaan alam di Indonesia. Sehingga, ada UU yang memayungi dan menjadi rujukan utama pengaturan-pengaturan terkait pengelolaan bumi, air dan udara agar sesuai amanat konstitusi. Dan, usul ini pun diamini pula oleh narasumber lainnya. (Dodi/mh)