Jakarta, MKOnline - Segenap mahasiswa program S2 Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Sultan Agung (Unisula), Semarang mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK), pada Rabu (9/2) pagi. Kedatangan mereka diterima langsung oleh Hakim Konstitusi Harjono, yang berlanjut dengan ceramah singkat seputar latar belakang dibentuknya MK, mengenai wewenang dan kewajiban MK, dan diakhiri acara tanya jawab.
Mengawali ceramahnya, Harjono menjelaskan latar belakang dibentuknya Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), bermula dari amandemen UUD 1945 yang memerhatikan fungsi baru yaitu peradilan tata negara. Fungsi tersebut pada prinsipnya bertujuan agar hukum tata negara dapat dijalankan dengan baik dan tidak dilanggar.
“Saat itu fungsi itu sempat ditawarkan ke Mahkamah Agung, seperti halnya dilakukan di Amerika Serikat. Namun, ternyata Mahkamah Agung tidak bersedia menjalankan fungsi baru tersebut. Alasannya, hakimnya masih kurang banyak, kurang berpengalaman dan kasus-kasus di Mahkamah Agung pun menumpuk, sehingga takut tidak tertangani,” papar Harjono.
Setelah melalui berbagai pemikiran dan pandangan para pakar, perlu dibentuk lembaga peradilan ketatanegaraan seperti dimiliki Austria, Jerman, Thailand, dan banyak negara lainnya. Alhasil dibentuklah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) yang lahir pada 13 Agustus 2003.
Lebih lanjut Harjono menerangkan sejumlah wewenang MKRI, yakni menguji UU terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara, membubarkan partai politik, memutus sengketa pemilu termasuk pemilukada.
“Selain itu MK wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, penyuapan, dan sebagainya,” ujar Harjono.
Namun demikian, lanjut Harjono, sebenarnya yang menjadi inti wewenang MK hanyalah dua. “Pertama adalah menguji UU terhadap UUD. Kedua adalah menyelesaikan dan memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara. Oleh sebab itu, sebuah lembaga pantas disebut sebagai Mahkamah Konstitusi, kalau memiliki dua wewenang inti tersebut,” ungkap Harjono.
Dalam kesempatan itu juga dilakukan acara tanya jawab antara Harjono dengan para mahasiswa. Di antaranya, ada yang menanyakan masalah proses pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden yang masih terkesan sangat politis. Menanggapi masalah ini, Harjono mengatakan bahwa untuk melengserkan Presiden dan/atau Wakil Presiden harus terbukti dulu kalau memang melakukan pelangggaran hukum. “Mestinya ini menjadi kewenangan lembaga peradilan umum,” kata Harjono.
Harjono menuturkan lagi, beberapa tahun lalu sempat terjadi polemik siapa yang akan memeriksa Presiden bila diduga melakukan korupsi. Saat itu ada usulan agar yang memeriksa adalah Mahkamah Agung (MA) dan bukan MK. Alasannya, MA punya hakim pidana dan hukum acara pidana serta pandai menerapkan hukum pidana itu. Tetapi faktanya, saat itu MA belum mendapat kepercayaan dari masyarakat, banyak yang ragu MA berani mengadili Presiden.
Itulah ceritanya, sambung Harjono, mengapa pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga melanggar hukum harus dibawa ke MK untuk dibuktikan kebenarannya. Setelah itu terbukti, maka MK dalam putusannya tidak menyatakan Presiden langsung turun, tapi diproses politik lagi melalui MPR, (Nano Tresna A).