Jakarta, MKOnline - Sidang uji materi Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Pemberantasan Korupsi), kembali digelar di Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (7/2/2011) siang. Sidang dengan agenda pemeriksaan perbaikan permohonan ini dilakukan oleh Panel Hakim M. Akil Mochtar sebagai ketua panel, didampingi dua anggota, Achmad Sodiki, dan Maria Farida Indrati.
Pada persidangan kali ini, Pemohon, R. Hamdani C.H. yang hadir tanpa didampingi kuasa hukum, menyampaikan beberapa perbaikan sesuai dengan arahan dan nasehat panel hakim pada persidangan sebelumnya, (17/01/2011).“Pertama, mengenai kedudukan kami sebagai badan hukum,” kata Hamdani menerangkan kedudukan hukum (legal standing) Pemohon sebagai badan hukum yaitu Ketua Umum Pengurus Keluarga Besar Komite Kedaulatan Rakyat (PKB-KKR).
Di dalam AD/ART PKB-KKR Pasal 6 ayat (2) disebutkan: “Turut serta menjadi kontrol sosial manakala terjadi penyimpangan penyalahgunaan wewenang penyelenggaraan Negara…” Berdasarkan hal ini, lanjut Hamdani, PKB-KKR berhak menyampaikan permohonan.
PKB-KKR, jelas Hamdani, merupakan badan hukum yang terdaftar di Depdagri. “Kedudukan saya di komite adalah sebagai ketua umum,” kata Hamdani menerangkan jabatannya di PKB-KKR.
Saat M. Akil Mochtar menanyakan mengenai pasal yang diujikan, Hamdani menjawab bahwa pasal yang diujikan tetap (tidak ada perubahan) sebagaimana dalam permohonan. Sedangkan mengenai Pasal 45, menurut penafsiran Pemohon, terjadi diskriminasi karena para koruptor tidak bisa dijerat dengan UU 31/1999, jika perbuatan korupsi dilakukan sebelum lahirnya UU ini. “Jadi Saudara minta supaya Pasal 45 ini berlaku pada tanggal diundangkan dan pelaksanaannya berlaku surut,” tanya Akil. “Ya,” jawab Hamdani singkat.
Sebagaimana dalam persidangan pendahuluan (17/01/2011), Hamdani yang menjabat Ketua Umum Pengurus Keluarga Besar Komite Kedaulatan Rakyat (PKB-KKR) ini mengujikan Pasal 2, Pasal 3,
Pasal 4, dan Pasal 45 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Pemberantasan Korupsi). Menurutnya, ketentuan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28I Ayat (2) UUD 1945.
Pasal 2 UU tersebut menyatakan: "Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,- (Dua Ratus Juta Rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (Satu Milyar Rupiah)."
Ketidakjelasan batas minimal dan maksimal nilai korupsi, hukuman terhadap koruptor, dan penyalahgunaan kewenangan jabatan atau kedudukan yang merugikan negara atau rakyat, menurut Hamdani, turut andil memberikan kesempatan terjadinya tindak pidana korupsi. "Pasal ini memberi kesempatan orang untuk melakukan korupsi," dalil Hamdani.
Di samping itu, dalam penerapannya terdapat diskriminasi antara tindak pidana yang dilakukan rakyat kecil dengan tindak pidana koruptor. Hal ini menurut Hamdani bertentangan dengna 27 Ayat (1) UUD 1945. "Pencuri kakau, pencuri piring, mendapatkan hukuman hampir sama dengan yang dijatuhkan oleh UU Nomor 31 Tahun 1999 tersebut," lanjut Hamdani.
Hamdani memohon kepada Mahkamah menyatakan tafsir Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 45 UU tersebut bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) dan Pasal 28I UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. (Nur Rosihin Ana/mh)