MK Hapus UU Penetapan Hak Angket
Selasa, 01 Februari 2011
| 11:33 WIB
Gedung Mahkamah Konstitusi
JAKARTA (Suara Karya): Mahkamah Konstitusi (MK) "menghapus" Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR. Sebagai gantinya selanjutnya, Hak Angket DPR sepenuhnya diatur Pasal 77 ayat (3) UU Nomor 27 tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, serta Tata Tertib DPR. "Mengabulkan permohonan para pemohon dalam pengujian materiil UU Nomor 6 tahun 1954 tentang Penetapan Hak Angket DPR," kata Ketua MK Mahfud MD saat membacakan putusan majelis hakim MK di Gedung MK, Jakarta, Senin. Alasan "pembatalan" seluruh isi UU No 6 Tahun 1954 karena merupakan warisan orde lama. "UU tersebut berdasarkan sistem pemerintahan parlementer berdasar UUDS 1950," tutur Ketua Majelis Hakim MK, Mahfud MD. Selajutnya majelis hakim MK menilai, paling tidak ada dua alasan mengapa UU tersebut dibatal kan. Pertama, karena UU tersebut dibuat dalam sistem pemerintahan parlementer. Hal itu terlihat dalam Pasal 28 UU Nomor 6 Tahun 1954 yang menyebutkan panitia hak angket tidak bubar meskipun DPR dibubarkan. Klausul tersebut hanya mungkin terjadi pada masa parlementer. "Ketentuan demikian jelas berbeda atau tidak sejalan dengan UUD 1945 yang menganut sistem pemerintahan presidensiil. Dalam sistem pemerintahan presidensiil, Presiden tidak dapat membekukan dan atau membubarkan DPR," kata hakim konstitusi Harjono saat membacakan pertimbangan putusan. Alasan kedua adalah tata cara tentang mekanisme kerja panitia angket yang diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 1954 telah diatur juga dalam UU 27/ 2009. "Jika Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1954 tetap dipertahankan akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru bertentangan dengan UUD 1945," tutur Harjono. Menanggapi putusan ini, "penggugat" Bambang Supriyanto mengaku senang karena telah turut serta mengoreksi tata hukum yang salah. Menurut dosen senior Universitas Atmajaya Jakarta ini, kini tidak ada lagi celah untuk mempertentangkan pelaksanaan Hak Angket sebagai akibat adanya dualisme aturan. "Dengan dikabulkannya permohonan saya, maka semua produk hukum yang dibuat berlandaskan UUDS dengan sistem parlementer yang bertentangan dengan UUD 1945 dengan sistem presidensiil berdasarkan analogi dengan keputusan ini menjadi tidak berlaku lagi," tutur Bambang usai sidang. Penggugat lainnya Aryanti Artisari, Jose Dima Satria, dan Aristya Agung Setiawan juga menyambut baik putusan MK. Baik Bambang maupun ketiga temannya menilai penggunaan dua UU dalam hak angket Century telah memunculkan ketidakpastian hukum. Karenanya, mereka meminta agar UU Hak Angket 6/1954 dibatalkan. Sementara itu, untuk uji materiil UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, MK memutuskan untuk tidak menerimanya. Alasannya, para pemohon yang juga pemohon uji materi UU Hak Angket Nomor 6 Tahun 1954 dinilai tidak memunyai alasan yang kuat untuk mengajukan permohonan. "Mahkamah berpendapat para pemohon tidak dirugikan oleh berlakunya UU 27/2009, sehingga para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum," kata hakim konstitusi Akil Mochtar saat membacakan pertimbangan putusan. Wilmar P, SuaraKarya-online.com