Jakarta, MKOnline - Saat ini perkembangan ketatanegaraan Indonesia tidak terlepas dari kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satunya, terkait kewenangan MK untuk menyelesaikan sengketa perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU). Meski keberadaan MK relatif baru, diakui maupun tidak, MK telah memberikan kontribusi besar dalam dinamika politik Indonesia. Karenannya, banyak institusi dan lembaga dari berbagai negara ingin belajar dari Indonesia, khususnya MK.
Berkaitan dengan hal itu, Ketua MK Moh. Mahfud MD didampingi Wakil Ketua MK Achmad Sodiki, Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar dan Kepala Biro Humas dan Protokol MK Noor Sidharta, Rabu (26/1), menerima kunjungan delegasi dari Afghanistan. Rombongan delegasi terdiri dari Abdul Ghafoor (The Asian Foundation), Nasrullah S. (Kabul University), Shinkai Zahine Karokhail (Afghanistan Parliament), Jandan Spinghahr (Free and Fair Election Afghanistan/FEFA) dan Mawlawi Abdul Bari (Ulama Council).
“Kami ingin belajar kepada Indonesia terkait beberapa hal, terutama pemilihan umum,” kata Abdul Ghafoor menjelaskan tujuan kedatanganya. “Kami memprioritaskan Indonesia karena Indonesia merupakan negara Islam, negara yang memiliki sejarah penjang dalam demokrasi dan memiliki kekayaan budaya yang sangat besar.”
Menanggapi pernyataan tersebut, Mahfud menegaskan, Indonesia bukanlah negara Islam. Karena, menurutnya, penyebutan negara Islam untuk Indonesia adalah kurang tepat. “Indonesia adalah negeri islami tapi bukan negara Islam. Keduanya berbeda, karena kalau negeri Islam adalah menjadikan hukum Islam sebagai hukum resmi negara. Sedangkan di Indonesia, hukum Islam itu bukanlah hukum resmi negara, tapi ikut memberi corak dalam hukum negara,” paparnya.
Pada kesempatan itu, dibicarakan berbagai hal terkait pelaksanaan kewenangan MK dan Pemilu. Mahfud menjelaskan, sejak 2003, Indonesia telah memiliki pengadilan yang khusus menyelesaikan sengketa pemilu, yakni melalui MK. Dan, sejak 2008, kewenangan mengadili sengketa hasil Pemilu Kepala Daerah (Pemilukada) telah dialihkan ke MK dari Mahkamah Agung (MA). “Sampai saat ini tidak kurang 270 kasus (Pemilukada, red) telah ditangani,” ujar Mahfud memberikan gambaran.
“Ini merupakan suatu kemajuan bagi sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia,” tegasnya. “Karena, sebelum tahun 2004 tidak pernah ada sengketa hasil Pemilu yang bisa diadili,” lanjutnya.
Selain itu, Sodiki menambahkan, meskipun secara normatif MK hanya berwenang mengadili sengketa hasil Pemilu saja, namun dalam praktiknya, MK tidak hanya berpatokan pada hasil penghitungan suara saja. MK juga, lanjut Sodiki, mempertimbangkan proses yang mempengaruhi hasil perolehan suara masing-masing calon. “Oleh karena hasil itu ditentukan oleh suatu proses, maka Mahkamah Konstitusi memeriksa prosesnya hingga meghasilkan suatau angka. Proses inilah yang sangat menentukan. Karena, jika prosesnya baik maka hasil dapat dipercaya, dan jika tidak baik maka akan dibatalkan,” ungkapnya.
Selanjutnya, dalam acara yang diprakarsai oleh Sekretaris Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) dan Asia Network for Free Election (ANFREL) ini, diisi pula dengan tanya jawab. Dalam tanya jawab tersebut, para delegasi mempertanyakan, salah satunya, tentang hubungan MK dengan unsur penegak hukum lainnya, seperti Kejaksaan, MA dan bahkan dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Selain itu, mereka juga menanyakan mekanisme penyelesaian sengketa Pemilu di Indonesia. (Dodi/mh)