Jakarta, MKOnline - Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) adalah putusan dalam vonis yang diambil oleh minimal tujuh hakim konstitusi. Hal ini disampaikan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati ketika menerima kunjungan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi, Rabu (26/1), di Gedung MK.
“Putusan MK bukanlah putusan hakim secara perseorangan. Pendapat MK dapat dilihat dari putusan MK, bukan dari pendapat pribadi hakim konstitusi. Jadi, jika ada hakim konstitusi yang berpendapat di luar berbeda dengan apa yang diputuskan MK, hal itu karena putusan MK bukanlah putusan perseorangan,” jelas Maria.
Dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), lanjut Maria, setiap hakim konstitusi dipersilakan untuk memberikan argumentasi masing-masing tentang perkara yang akan diputus. Maria juga menjelaskan bahwa suara sembilan hakim konstitusi tidaklah selalu bulat dalam putusan MK. “Jika seandainya tidak terjadi suara bulat, maka dipilihlah pendapat terbanyak. Kemudian dibuat tulisan (legal opinion) untuk melihat mana pertimbangan hukum yang lebih kuat sebagai putusan. Jika terjadi kedudukan seimbang antara hakim yang menerima dengan hakim yang menolak, maka keputusan ada di tangan ketua majelis hakim. Perbedaan pendapat di antara hakim kosntitusi (dissenting opinion) menujukkan independensi hakim konstitusi,” urainya.
Disinggung mengenai banyaknya permohonan yang meminta MK untuk merumuskan pasal, Maria menjelaskan bahwa MK hanya memiliki kewenangan sebagai legislatif negatif atau negative legislator (pembatal undang-undang yang dibuat oleh DPR dan Pemerintah jika bertentangan dengan UUD 1945, red.). “MK bukanlah legislatif positif seperti DPR, maka MK hanya bisa mengabulkan permohonan untuk menafsirkan pasal-pasal dalam UUD 1945,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Maria juga membahas mengenai fungsi dan kedudukan MK yang tertuang dalam pasal 24 UUD 1945. Keempat kewenangan tersebut di antaranya melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, menyelesaikan sengketa pembubaran parpol, meng-impeachment Presiden seandainya DPR menemukan bukti bahwa Presiden melakukan tindakan yang berlawanan dengan konstitusi, mengadili sengketa lembaga yang kewenangannya disebutkan dalam UUD 1945 serta menyelesaikan persengketaan hasil Pemilu baik legislatif, Presiden - Wakil Presiden maupun daerah. (Lulu Anjarsari/mh)