Mahasiswa Udayana Berkunjung ke MK
Selasa, 25 Januari 2011
| 11:23 WIB
Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar, memberikan kuliah singkat kepada rombongan mahasiswa Universitas Udayana, Bali, yang berkunjung ke MK. Senin (24/1).
Jakarta, MKOnline - Terbentuknya Mahkamah Konstitusi (MK) adalah sebagai wujud keseimbangan dan saling kontrol antar lembaga negara, serta menegaskan pelaksanaan prinsip negara hukum dan hak asasi manusia. Demikian dinyatakan oleh Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar, Senin (24/1) di lantai 4 gedung MK. Pada kesempatan itu, Akil memberikan kuliah singkat kepada rombongan mahasiswa Universitas Udayana, Bali, yang berkunjung ke MK. Akil menyampaikan materi berjudul “Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan RI.” “Kunjungan ini diselenggarakan dalam rangka studi ekskursi tahun 2011,” ungkap Dede Ketua Panitia kunjungan. Menurut Akil, ide pendirian MK bukanlah hal yang baru dalam wacana ketatanegaraan Indonesia. Menurutnya, perdebatan tentang adanya lembaga yang dapat menguji undang-undanag sudah muncul sejak awal-awal kemerdekaan. “Saat itu ada perdebatan antara Yamin dengan Soepomo. Yamin mengusulkan untuk dibentuk Balai Agung yang tugasnya menguji undang-undang,” katanya. Namun ketika itu, lanjut Akil, usulan tersebut ditentang oleh Soepomo dengan beberapa alasan, salah satunya adalah paham yang dianut konstitusi saat itu adalah pembagian kekuasaan, bukan pemisahan kekuasaan. Sedangkan dalam konteks dunia, keberadaan MK juga sudah lama muncul. Faktanya, Indonesia merupakan negara ke-77 yang memiliki MK dalam struktur ketatanegaraannya. Selanjutnya, Akil menyatakan, setidaknya ada empat alasan kenapa ada MK dalam struktur ketatanegaraan sebuah negara. Pertama, keberadaan MK merupakan implikasi dari dianutnya paham konstitusionalisme. “Ada dua esensi terkait hal ini, yakni sebagai konsep negara hukum dan kedua adalah dijaminnya hak-hak sipil oleh konstitusi,” ujarnya. Kemudian, alasan kedua, diterapkannya prnsip check and balances. Yakni prinsip saling mengimbangi dan saling kontrol antar cabang-cabang kekuasaan negara, dalam hal ini antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Sedangkan alasan ketiga dan keempat adalah dijunjungnya nilai-nilai demokrasi serta dalam konteks perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM). “Pentingnya check and balances adalah agar tidak terjadi over lapping (antar) kekuasaan negara,” ungkapnya. Oleh karena dalam praktiknya sering, atau setidaknya dimungkinkan terjadi benturan atau gesekan dalam penyelenggaraan masing-masing kekuasaan, maka diperlukan sebuah lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga negara. Dalam ranah inilah muncul MK sebagai lembaga yudisial yang berwenang menyelesaikan sengketa kewenangan antar lembaga negara. “Karena ini negara hukum, maka sistem kontrolnya adalah kontrol yudisial, bukan kontrol politik,” tegasnya. Selain itu, Akil juga memaparkan beberapa hal terkait apa yang sudah dilakukan MK dalam mewujudkan peradilan modern yang terpercaya. “Berperkara di MK gratis, cepat, mudah serta didukung oleh fasilitass IT yang memadai,” jelasnya. Segala hal yang dilakukan MK, lanjut Akil, adalah usaha untuk mewujudkan rasa keadilan masyarakat yang sesungguhnya. (Dodi/mh)