Brazil, MK Online - Ratusan hakim konstitusi dari 86 negara serta perwakilan tiga pengadilan internasional dan empat lembaga internasional berkumpul di kawasan pantai Copacabana, Rio de Janeiro, Brazil. Selama tiga hari, terhitung sejak tanggal 16 sampai 18 Januari 2011, mereka melaksanakan Kongres Kedua Konferensi Hakim Konstitusi se-Dunia (2nd Congress of the World Conference on Constitutional Justice). Kongres yang difasilitasi oleh Venice Commission dan Mahkamah Agung Federal Brazil ini merupakan kelanjutan dari kongres pertama yang diselenggarakan di Captown, Afrika Selatan. Inilah rembuk akbar para hakim konstitusi yang direncanakan bakal digelar secara rutin setiap dua tahun sekali.
Sebagaimana pada kongres pertama, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia juga turut ambil bagian dalam kongres kedua ini. Delegasi Indonesia terdiri atas Ketua MK Moh Mahfud MD, Hakim Konstitusi Harjono, dan Duta Besar RI untuk Brasilia Sudaryomo. Menurut Mahfud, materi pembicaraan pada kongres kedua ini tidak jauh berbeda dengan kongres pertama.
Di antara tema penting yang menjadi bahan perbincangan dalam kongres adalah mengenai independensi MK sebagai peradilan konstitusi. Dalam curah pendapat para peserta tampak persoalan bahwa masih banyak MK di berbagai belahan dunia yang belum mampu berdiri sejajar dengan lembaga-lembaga negara lain, terutama lembaga eksekutif. Persoalan ini terjadi karena banyak faktor yang tentu saja tidak seragam, seperti kecilnya kewenangan, minimnya anggaran, posisi kelembagaan yang subordinatif, rendahnya kualitas sumber daya manusia, dan kuatnya tekanan politik.
Persoalan lain yang mengemuka adalah bagaimana mempertegas karakter MK sebagai lembaga peradilan konstitusi. Sebagian peserta beranggapan bahwa beragamnya peran dan fungsi MK antara negara satu dengan negara lain dapat mengaburkan konsep MK. Sementara sebagian lainnya menganggap hal itu tidak perlu dipersoalkan karena masing-masing negara memiliki kebutuhan dan idealitas sendiri tentang MK. Dalam perbincangan ini, batas-batas kewenangan MK sebagai lembaga yudikatif pun diperdebatkan, misalnya, apakah MK boleh membuat atau mengganti norma hukum melalui penafsiran atau tidak. Demikian pula mengenai putusan ultrapetita, sebagian peserta menganggap bukan masalah sementara sebagian lainnya menolak keras.
Selain menemukan berbagai persoalan seputar posisi dan kewenangan MK, kongres kedua ini juga menampung gagasan-gagasan yang muncul dari para peserta. Salah satunya adalah gagasan untuk meningkatkan kerjasama internasional. Melalui komunikasi yang intens, baik dalam hubungan bilateral maupun multilateral, berbagai persoalan akan dapat dipecahkan. Untuk itu, jaringan kerjasama MK pada tingkat internasional perlu didorong untuk memperhatikan beberapa MK yang belum mampu mandiri. Demikian pula komunikasi dalam jaringan internasional diyakini akan mampu menciptakan standarisasi kewenangan MK.
Gagasan lain yang juga cukup menarik adalah bagaimana menempatkan MK berada pada posisi paling tinggi di antara lembaga-lemabaga negara yang ada. Gagasan ini tidak hanya melihat MK sebagai lembaga yudikatif, melainkan lebih dari itu, sebagai lembaga pengontrol bagi lemabaga-lemabaga negara lainnya. Gagasan ini didasari oleh fungsi MK sebagai pengawal konstitusi di mana konstitusi merupakan adalah hukum tertinggi dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. (Rafi)