Jakarta, MK Online - Mahkamah Konstitusi (MK), Mahkamah Agung (MA), dan Polri bersepakat untuk menegaskan kepada masyarakat mengenai putusan MK tidak bisa diadili oleh pengadilan lain. Kesepakatan ini dilakukan dalam pertemuan koordinasi antara MK, MA, dan Polri, Senin (10/1), di Gedung MK. Pada kesempatan itu, hadir Ketua MK Moh. Mahfud MD beserta hakim konstitusi dengan didampingi oleh Sekjen MK Janedjri M. Gaffar, Ketua MA Harifin A. Tumpa, serta Kabareskrim Polri Komjen (Pol) Ito Sumardi.
Kesepakatan ini, menurut Mahfud, terbentuk karena mulai banyaknya tindakan yang menyesatkan masyarakat dengan menggugat Putusan MK ke pengadilan, baik pengadilan perdata maupun pengadilan tata usaha negara (PTUN). “Selama ini, kita (MK, red.) punya pengalaman ada putusan MK yang diajukan ke pengadilan perdata di Gresik dan juga PTUN di Gresik. Lalu, di PTUN Kabupaten Supiori. Adapula putusan MK yang dilaporkan ke Bareskrim sebagai tindak pidana. Itu menyesatkan masyarakat, karena asas umum peradilan di seluruh dunia dan di dalam konstitusi kita serta UU Pokok kekuasaan kehakiman, putusan pengadilan tidak bisa diadili,” urai Mahfud.
Mahfud menyayangkan adanya upaya pembodohan masyarakat oleh segelintir pihak pengacara yang mencari uang untuk sengaja menggugat Putusan MK ke pengadilan. “Jangan sampai masyarakat dibodoh-bodohi oleh pengacara. Mereka hanya buang-buang waktu. Pada akhirnya ditolak juga oleh pengadilan karena tidak boleh putusan pengadilan di bawa ke pengadilan,” jelasnya.
Untuk itulah, lanjut Mahfud, dibentuk kesepakatan antara MK, MA, dan Polri. “Oleh karena itu, tadi kita (MK, MA, serta Polri, red.) bersepakat untuk membuat semacam penegasan dari MA ke semua pengadilan kalau ada hal seperti itu supaya masyarakat paham bahwa putusan MK ataupun putusan pengadilan manapun tidak boleh diadili oleh pengadilan manapun. Tidak boleh hakim dianggap salah karena putusanya. Tidak boleh hakim dimintai pertanggungjawaban hukum atas putusannya. Itu bunyi UU dan berlaku secara universal di seluruh dunia,” paparnya.
Menanggapi kemungkinan adanya putusan mengandung unsur pidana, maka Mahfud menegaskan agar hakimnya yang dipidanakan, bukan putusannya. “Misalnya (hakim) menerima suap atau menggelapkan data, putusannya tetap sah. Ekstremnya, meskipun putusan itu nyata-nyata salah, tapi kalau sudah diketok palu oleh hakim, maka itu tidak boleh diperkarakan. Tapi hakimnya bisa diseret ke pengadilan oleh polisi atau oleh jaksa atau oleh KPK,” jelasnya.
Mahfud juga menjelaskan langkah selanjutnya dari kesepakatan ini, yakni MA akan segera mengeluarkan surat edaran sebagai penegasan dari surat edaran MA yang sudah ada No 9/1976. “Surat edaran nomor 9/1976 itu masih berlaku sebagai asas peradilan yang universal. Jadi, kalau yang menyangkut tindak pidana, saya minta kepada Kabareskrim untuk mempercepat penanganannya. Rencana jangka panjang akan membentuk tim kerja bersama antara MK, MA, Kejaksaan dan Polri untuk menyusun langkah-langkah teknis yang bisa dipedomani bersama mengenai kasus-kasus Pemilukada,” tandas Mahfud.
Peluang Pengawasan
Sebelumnya, Ketua MK menerima kunjungan Ketua Komisi Yudisial Eman Suparman beserta komisioner KY lainnya. Pertemuan tersebut membahas penegakkan hukum dan pengawasan hakim MK dalam koridor konstitusi dan perundang-undangan. “Ini hanya perkenalan biasa. Kami mempunyai pandangan yang sama bahwa peradilan di Indonesia harus kita kawal bersama-sama,” ujar Mahfud singkat.
Mahfud juga menjelaskan MK tidak bisa membuka peluang pengawasan hakim konstitusi sendiri. “Yang harus membuka peluang itu konstitusi dan undang-undang. Kita hanya berdiskusi masalah yang lebih prinsip ke depan lembaga peradilan harus dikawal bersama-sama. Kalau teknis pengawasan hanya sebagai alternatif. Dan kita akan sering berkomunikasi karena tujuan sama agar peradilan bersih. Semua diserahkan ke Pemerintah dan DPR,” urai Mahfud.
Hal serupa dikemukakan Ketua KY Eman Suparman yang menyatakan kedatangannya hanyalah untuk bersilaturahmi. “Memang kami bersilaturahmi ke MK sambi memperkenalkan saya dan teman-teman. Tidak ada hal yang khusus,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)