Jakarta, MK Online - Segenap mahasiswa dan dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Langlang Buana, Bandung, mengunjungi Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (6/1). Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva menerima langsung kunjungan para mahasiswa tersebut, sekaligus memberikan kuliah singkat seputar latar belakang berdirinya MK, wewenang dan kewajiban MK, maupun berbagai hal lainnya terkait dengan MK.
Mengawali acara itu, Hamdan Zoelva menjelaskan bahwa hingga sekitar tahun 1998, UUD 1945 dianggap sakral, sebagai sesuatu yang harus dipertahankan hidup dan mati. Oleh sebab itu pada 1999 dibuat terobosan untuk mengubah UUD 1945.
“Itulah sebabnya, walaupun namanya perubahan pertama, kedua, ketiga sampai keempat pada UUD 1945, namun perubahan UUD 1945 tetap satu kesatuan yang merupakan satu rangkaian perubahan. Maka lahirlah apa yang orang istilahkan dengan perubahan UUD 1945 tahun 2002,” kata Hamdan yang didampingi moderator Lahmudin dari FH Universitas Langlang Buana.
Salah satu topik menarik dari perubahan UUD 1945, lanjut Hamdan, adalah tentang judicial review atau pengujian undang-undang, yang tidak berlaku pada masa pemerintahan orde baru. Artinya, kala itu apa pun yang diputuskan oleh DPR dan Presiden tentang sebuah undang-undang, maka itu berlaku tanpa bisa diawasi oleh institusi mana pun.
“Saat itu undang-undang tidak bisa diuji. Mahkamah Agung hanya menguji segala peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Problemnya adalah, ketika negara kita melakukan evaluasi pada 1999, banyak undang-undang yang lahir karena kepentingan politik untuk melanggengkan kekuasaan,” papar Hamdan.
Hal itulah, kata Hamdan, yang menjadi latar belakang pokok bahwa bangsa Indonesia membutuhkan sebuah Mahkamah untuk menguji UU terhadap UUD. Prinsip yang dibangun bangsa Indonesia pada saat itu, pertama adalah prinsip kedaulatan konstitusi.
“Itulah yang secara implementatif dalam bentuk prinsip konstitusionalisme. Hukum negara, yang paling tinggi adalah konstitusi atau UUD,” imbuh Hamdan.
Oleh karena itu, sambung Hamdan, untuk mengawal UUD agar berjalan sesuai prinsip-prinsip yang diatur dalam UUD 1945, maka harus ada sebuah Mahkamah untuk mengawal UUD itu dilaksanakan secara benar. Hingga dibentuklah Mahkamah Konstitusi.
“Walaupun dulu ada perdebatan, apakah Mahkamah yang menguji UU terhadap UUD itu diserahkan ke MA atau ke mahkamah tersendiri? Hal itu menimbulkan perdebatan yang panjang. Tetapi, setelah melakukan berbagai studi banding mengenai konstitusi terhadap lebih dari 70 negara, maka kita pada kesimpulan bahwa diperlukan sebuah Mahkamah tersendiri,” ujar Hamdan panjang lebar.
Lebih lanjut Hamdan menerangkan, ada negara yang menganut prinsip konstitusionalisme tetapi tidak mengenal Mahkamah Konstitusi. Amerika Serikat ada Mahkamah Agung, yang sebenarnya jugs merupakan Mahkamah Konstitusi. Karena perkara-perkara yang diajukan di Mahkamah Agung adalah perkara-perkara konstitusional. Inggris dan Belanda juga demikian, tidak mengenal Mahkamah Konstitusi, karena menganut supremasi parlemen, apa pun putusan parlemen tidak bisa di-judicial review kecuali terkait implementasi suatu kasus.
“Di Perancis, tidak bisa Mahkamah atau pengadilan menguji UU, karena menganut supremasi parlemen. Oleh karena itu di Perancis terdapat Dewan Negara yang mirip dengan Mahkamah Konstitusi. Bedanya, di Perancis tidak ada pengujian setelah menjadi UU, yang ada berupa judicial preview yakni pengujian sebelum menjadi UU,” tandas Hamdan. (Nano Tresna A./mh)