Jakarta, MK Online - Pengujian UU 14/1999 sebagaimana telah diubah dengan UU 19/2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU 1/2004 tentang Perubahan Atas UU 41/1999 tentang Kehutanan (Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g), disidangkan MK, Kamis (6/1/2011) pukul 09.00 WIB. Perkara ini diregistrasi dengan nomor 72/PUU-VIII/2010.
Pemohon adalah Bupati Kab. Penajam Paser Utara, yang didampingi beberapa kuasa hukum dari John Mathias Associates.
Pada sidang pendahuluan, sudah ada beberapa nasehat dari Panel untuk perbaikan permohonan. “Coba terangkan poin-poin perbaikannya,” pinta Hamdan Zoelva selaku Ketua Panel.
“Arahan Majelis tentang legal standing; apakah Pemohon dari eksekutif atau legislatif. Saya jelaskan Pemohon adalah bupati yang mewakili daerahnya. Tentang pokok permohonan, yang menjadi penekanannya adalah memfokuskan pada UU 41/1999 tentang Kehutanan. Kami membuang beberapa ketentuan tentang peraturan pemerintah dan peraturan menteri No.3/2008,” kata kuasa hukum Pemohon.
Alasan Pemohon mengujikan UU di atas, setelah perbaikan adalah pertentangan Pasal 38 ayat (3) dengan prinsip negara hukum Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Kemudian, petitum Pemohon adalah mengabulkan permohonan, menyatakan Pasal 38 ayat (3) dan Pasal 50 ayat (3) huruf g bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Setelah dibacakan, Hamdan Zoelva menyatakan belum diuraikan kerugian konstitusional. “Yang diuraikan hanya posisi Pemohon, kualifikasi Pemohon yang mewakili daerah. Padahal Pasal 51 UU MK memberikan ketentuan harus ada kerugian konstitusional,” kata Hamdan.
Pemohon pun melakukan interupsi dalam persidangan dan menyatakan sudah menyebut kerugian konstitusional, yakni penggunaan kawasan hutan untuk izin pertambangan yang dilakukan oleh menteri, sangat merugikan hak konstitusional Pemohon selaku kepala daerah.
Bantahan ini ditanggapi kembali oleh Ketua Panel bahwa seharusnya Pemohon menyebut terlebih dahulu hak konstitusionalnya apa, kemudian menuturkan kerugian konstitusional, baik secara aktual maupun potensial, dan apakah ada hubungan sebab-akibat antara kerugian konstitusional dengan berlakunya pasal yang dimohonkan. “Apakah dengan tidak berlakunya pasal ini, kerugian konstitusionalnya terpulihkan,” jelas Hamdan. (Yazid/mh)