Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Daerah Khusus bagi Provinsi Papua yang telah diubah menjadi UU No. 35 tahun 2008 tentang Penetapan Perpu No. 1 tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Daerah Khusus Provinsi Papua terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Sidang tersebut digelar, Selasa (4/1), dengan agenda pemeriksaan permohonan. Sidang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Achmad Sodiki beranggotakan Hakim Konstitusi Harjono dan Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva. Persidangan kali ini juga dihadiri Pihak Pemohon, Jimmy Demianus Ijie yang didampingi dua kuasa hukumnya, yaitu Bambang Widjojanto dan Iskandar Sonhaji.
Kuasa hukum Pemohon,Bambang Widjojanto dalam perkenalan menyampaikan Weynand Watori dan Amal Saleh dari DPRP Papua juga hadir dalam persidangan tersebut. Meski begitu, Bambang menjelaskan bahwa Prinsipal Pemohon ada dua orang yang berasal dari Papua dan Papua Barat, yaitu John Ibo dan dari Papua Barat, yaitu Yoseph Yohan Auri dan Robert Melianus. Ketiganya tersebut tidak hadir.
Masih dalam kesempatan yang sama, Bambang menjelaskan alasan permohonan yang diajukan. Alasan pertama, mengenai penghapusan tugas dan wewenang dari Pemohon sesuai Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 oleh Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 tentang Otsus. Pemohon menganggap penghapusan tugas dan wewenang tersebut sebagai tindakan inkonstitusional. Argumen yang disampaikan Pemohon, yakni penyebutan dan pengakuan atas nama DPR Papua pada saat penyusunan Undang-Undang Otsus (Otonomi Khususu) itu sudah dilakukan dengan perdebatan yang cukup intensif dan cukup panjang. Di dalam rumusan UU Otsus tersebut juga dijelaskan mengenai cakupan kewenangan, yaitu memilih gubernur dan wakil gubernur sesuai Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001.
Pasal 7 ayat (1) huruf a itu ternyata mempunyai kaitan erat dengan pasal-pasal lainnya di dalam Undang-Undang Otsus misalnya, Pasal 11 ayat (3) dan Pasal 12 huruf a yang menjelaskan sifat kekhususan Papua dan dirumuskan juga tata cara pemilihan gubernur dan wakil gubernur. Yang dapat dipilih menjadi gubernur dan wakil gubernur dijelaskan dalam pasal tersebut, yaitu warga negara Repubilk Indonesia dengan syarat orang asli Papua.
Ketika undang-undang Otsus tersebut diubah menjadi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2008 yang didahului dengan Perpu Nomor 1 Tahun 2008, ternyata menurut Pemohon perubahan tersebut ditujukan untuk memberikan justifikasi atau kepastian hukum bagi keberadaan Provinsi Papua Barat untuk dapat diakomodasi dan diberi payung oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001. “Jadi tidak ada kaitannya sama sekali dengan pertimbangan dan dasar serta justifikasi untuk menghapus Pasal 7 ayat (1) Huruf a Undang-Undang Otsus,” tutur Bambang.
Lebih lanjut Bambang mengatakan tindakan penghapusan Pasal 7 ayat (1) huruf a undang-undang a quo yang tidak didahului oleh evaluasi atas pelaksanaan pasal a
quo, dapat dikualifikasi sebagai tindakan inkonstitusional atau perbuatan melanggar hukum. Sebab, Pemohon menganggap negara memiliki kewajiban untuk mengakui dan menghormati satuan-satuan Pemerintah Daerah yang bersifat khusus, serta negara juga tidak dapat melakukan suatu tindakan yang menyebabkan diabaikan atau dilanggarnya hak atas jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di muka hukum.
Berdasar atas argumen-argumen tersebut, Pemohon menyampaikan dua petitum atau tuntutan. Pertama, memerintahkan KPU Papua dan Papua Barat untuk menghentikan pelaksanaan tahapan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Provinsi Papua sampai adanya Putusan MK dalam perkara tersebut yang berkekuatan hukum. Kedua, menyatakan penghapusan Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 18B ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1). Penghapusan Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan akibat hukumnya.
Nasehat Hakim
Hakim Konstitusi Harjono kemudian memberi tanggapannya atas pokok permohonan yang disampaikan Pemohon. Harjono mengatakan dari uraian-uraian yang disampaikan Pemohon, perlu pengekplisitan terhadap beberapa hal. “Pengeksplisitan, terutama posisi atau kualifikasi dari Pemohon. Memang disebutkan di situ sebagai perorangan warga negara tapi juga bisa sebagai Badan Hukum Publik. Jadi itu supaya dieksplisitkan saja karena ada dua pilihan yang masing-masing mempunyai konsekuensi terhadap hak konstitusional yang dijadikan landasan untuk mengajukan permohonan,” saran Harjono.
Sedangkan Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva mengkritisi petitum atau tuntutan permohonan yang disampaikan. Hamdan mencermati petitum tersebut pada intinya meminta Mahkamah untuk menilain penghapusan Pasal 7 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus. Hal itu tidak bisa dilakukan MK, sebab Mahkamah hanya dapat menilai norma yang lahir dari undang-undang dan bukan tindakannya. “Ini mungkin lebih tepat kalau Perpu itu yang menjadi objek tumlitis, bukan penghapusan itu sendiri dan Penetapan Undang-Undang mengenai Penetapan Perpu,” ujar Zoelva memberikan saran kepada Pemohon agar lebih fokus dan detil. (Yusti Nurul Agustin/mh)