Jakarta, MK Online - Inti pembentukan Panel Etik adalah untuk memeriksa hakim yang fokusnya untuk menentukan perilaku hakim yang menyimpang dan bukan memeriksa saksi. Hal ini disampaikan oleh Hakim Konstitusi Harjono ketika ditemui media, Senin (27/12), di Gedung MK.
Harjono merupakan Ketua Panel Etik yang akan memeriksa Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar dan M. Arsyad Sanusi dalam kasus dugaan suap di tubuh MK. Dalam Panel etik tersebut, Harjono didampingi oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki dan Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi sebagai Anggota Panel Etik.
“Panel etik ini intinya sebetulnya memeriksa hakim. Bukan memeriksa yang sekarang dikatakan saksi. Fokusnya bagaimana perilaku hakim (Hakim Konstitusi, red.). Apakah perilaku hakim itu melakukan penyimpangan? Atau apakah ada bukti hakim itu melakukan pelanggaran kode etik, juga untuk membuktikan perilaku itu menyimpang dari kode etik?” jelasnya.
Untuk itu, lanjut Harjono, diperlukan bukti-bukti untuk membuktikan penyimpangan yang dilakukan oleh hakim konstitusi tersebut. Menurut Harjono, jika diperlukan, maka Panel Etik akan memanggil orang-orang yang memiliki keterangan tentang kasus yang terkait hakim tersebut. “Kita perlu bukti-bukti. Bukti bisa bermacam-macam, kalau ada orang yang bisa memberikan keterangan, ya kita dengar. Tapi Panel Etik belum pernah mendengar kesaksian siapa-siapa. Masih diprogramkan, pertama hakimnya kita klarifikasi dulu,” urainya.
Harjono juga mengharapkan agar semua pihak tidak terburu-buru mengharapkan hasil pemeriksaan Panel Etik yang dipimpinnya. “Panel Etik kerja rahasia. Memeriksanya rahasia, laporannya rahasia, laporannya akan disampaikan kepada MK. Tindak lanjutnya hanya Pleno MK yang punya kewenangan, barangkali hasilnya akan dibawa kepada Majelis Kehormatan. Keputusannya nanti terbuka. Kita kerjanya masih rahasia semua. Oleh karena itu, tidak usah tergesa-gesa ingin tahu hasilnya seperti apa, karena kitanya juga kerja rahasia,” paparnya.
Disinggung mengenai sistem kerja yang rahasia, Harjono mengungkapkan bahwa sebetulnya timnya tidak ingin bekerja secara rahasia, tetapi hal tersebut sudah diatur dalam PMK Nomor 10/2006. “Saya hanya ikut PMK. Oleh karena itu, saya harus melakukan kerja ini dengan tim juga sesuai dengan ketentuan PMK Nomor 10/2006. Kalau tidak sesuai dengan ini, kemudian ada orang yang merasa dirugikan, kita bertanggung jawab dong. Tapi kalau ada ketentuan seperti ini ada dasar hukumnya kenapa kita melakukan hal seperti ini,” katanya.
Menurut Harjono, kerahasiaan tersebut merupakan cara untuk menjaga objektivitas. “Rahasia itu untuk menjaga objektivitas. Kerahasiaan bukan untuk kami. Kerahasiaan untuk objektivitas dari yang diperiksa, dari tim yang memeriksa tidak ada yang diuntungkan dari kerahasiaan ini selain objektivitas,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)