Jakarta, MK Online - Sidang lanjutan perkara nomor 218-219-220-221-222/PHPU.D-VIII/2010 digelar oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada Senin (12/12) di ruang sidang MK. Perkara terkait perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah Kab. Kepulauan Yapen ini telah memasuki agenda sidang pembuktian.
Sesaat setelah membuka sidang, Ketua Panel Hakim M. Akil Mochtar menyatakan bahwa Pemohon dengan nomor perkara 222/PHPU.D-VIII/2010 telah dinyatakan gugur. “Perkara 222 sudah resmi kita gugurkan, karena dua kali persidangan tidak hadir,” katanya.
Dalam persidangan, Pemohon 219 menghadirkan empat saksi, Termohon mengajukan empat saksi, sedangkan Pihak terkait mengajukan lima saksi. Adapun Pemohon 218 yang berniat menghadirkan KPU Provinsi Papua dan KPU Pusat serta Panwaslukada hingga persidangan berlangsung tidak mendapat konfirmasi kehadiran pihak-pihak tersebut.
Dalam kesaksiannya, saksi Pemohon, Densemina, mengungkapkan bahwa salah seorang Ketua RT di wilayahnya telah menyuruh dirinya serta warga lain untuk mencoblos pasangan calon nomor urut 2 (Pihak Terkait). Bahkan tidak hanya itu, menurut dia, Ketua RT tersebut membolehkan para pemilih untuk memilih lebih dari satu kali. “Sekali tusuk 100ribu. Lebih dari itu uangnya juga lebih,” ungkapnya menirukan perkataan Ketua RT itu.
Meskipun, faktanya, dia mengakui tidak memperoleh uang yang dijanjikan tersebut. “Cuman saudara ibu saya saja yang dikasih, itu pun 50ribu,” sambungnya. Ia juga mengakui telah mencoblos sebanyak tiga kali pada Pemilukada yang lalu.
Selain itu, saksi lainnya Agustinus Aninam, menyatakan bahwa kotak suara yang ada di TPS Kampung Miosnam telah dibawa oleh salah seorang saudara dari pasangan calon nomor urut 2 ke Kantor Distrik Wonama dengan menggunakan speedboat. Padahal, menurutnya, yang bertanggungjawab untuk menjemput atau membawa ke Kantor Distrik adalah PPD (Panitia Pemilihan Distrik). “Saya pergi kesana sudah diangkut lebih dahulu,” ungkapnya yang juga sebagai Sekretaris PPD Wonama ini. Kesaksian tersebut juga dibenarkan oleh saksi Orgenes Kendi.
Adapun saksi dari Termohon, Peter da Costa, membenarkan bahwa kartu undangan pemilih memang telah di foto copy. Dan, menurutnya, hasil foto copy tersebutlah yang didistribusikan kepada para pemilih. ”Sebab, undangan-undangan dan kartu pemilih diacak-diacak,” imbuhnya. Ia menyatakan, jumlah kartu undangan hasil foto copy tersebut sama dengan jumlah pemilih yang tercantum di DPT (Daftar pemilih Tetap). “Masalah ini hanya terjadi di Serui Jaya, Distrik Yapen Selatan saja,” ungkap Termohon.
Selain itu, Peter juga membenarkan bahwa telah ada pengamanan kartu suara oleh pihak kepolisian. “Karena, ada isu pihak-pihak tertentu akan mengambil secara paksa, sehingga diamankan ke kepolisian. Ada tiga Kelurahan yang diamankan,” paparnya.
Sedangkan para saksi Pihak Terkait, menegaskan, dalil Pemohon adalah tidak benar. Khususnya, terkait dalil money politic. Menurut Adi Andi jaya Makasau, meskipun dirinya menyerahkan uang sebesar 1,5 juta kepada Toni Lupapati (salah seorang pimpinan kelompok pemuda) tapi hal itu ia lakukan atas permintaan Toni Lupapati sendiri, bukan inisiatif dirinya. “Toni Lupapati bisikin kepada saya minta uang transportasi untuk pulang pada malam itu,” ucapnya. “Setelah (kejadian,red) itu tidak ada lagi pertemuan dengan Toni Lupapati,” sambungnya.
Begitu pula saksi H. Usman Kudu. Meski ia mengaku menyerahkan uang kepada salah satu anggota KPPS, akan tetapi ia menegaskan pemberian tersebut bukan dalam konteks money politic. Menurutnya, pemberian sejumlah uang tersebut disebabkan kedekatan dirinya dengan salah satu anggota KPPS itu. “Karena saya sering bantu mereka juga,” tegasnya.
Sebelum menutup persidangan, Panel hakim yang terdiri dari Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar, Maria Farida Indrati dan Hamdan Zoelva melakukan pengesahan terhadap alat bukti yang diajukan para pihak. (Dodi/mh)