Jakarta, MKOnline - Berbagai sesi ceramah dan tanya jawab peserta dengan para narasumber mewarnai Temu Wicara “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (MK)” kerjasama MK dengan Polri yang diselenggarakan pada 13-14 Desember 2010 di Hotel Gran Melia, Jakarta. Di antaranya, hadir narasumber Wakil Ketua MK Achmad Sodiki, Hakim Konstitusi Akil Mochtar, Hakim Konstitusi Harjono, serta Sekjen MK Janedjri M. Gaffar.
Wakil Ketua MK Achmad Sodiki menjelaskan topik hukum progresif dan substantif. Dikatakan Sodiki, pendekatan Mahkamah Konstiusi dalam memutus perkara tidak semata-mata menggunakan pendekatan yang normatif, sesuatu yang menuntut dilaksanakannya norma.
“Namun saat melaksanakan norma terdapat sesuatu yang tidak adil, maka Mahkamah tidak akan melaksanakan ketentuan yang demikian itu. Jadi harus menemukan rumusan sendiri yang menurut Mahkamah dapat adil. Hal ini bertitik tolak dari suatu paradigma bahwa undang-undang tidak pernah lengkap,” ungkap Sodiki.
Dengan demikian, lanjut Sodiki, pandangan yang normatif itu menggeneralisasi masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke bahwa ‘melek hukum’. Pandangan normatif itu ibarat orang membuat baju yang dianggap cocok untuk seluruh suku bangsa di Indonesia. Jadi, kelemahan dari generalisasi tersebut harus diselesaikan dengan cara harus mampu menyimpang, tetapi dengan sebuah kebijakan.
“Oleh sebab itu menurut catatan Prof, Satjipto, ‘benang merah yang dapat ditarik dari lembaran gagasan hukum progresif bahwa penegak hukum harus berani keluar dari alur tradisi penegakan hukum yang hanya bersandarkan peraturan perundang-undangan. Sebab hukum bukanlah semata-mata ruang yang hampa dan steril dari konsep-konsep hukum …’ ,” ujar Sodiki.
Pada sesi lainnya, Hakim Konstitusi Akil Mochtar menguraikan seputar perselisihan hasil Pemilukada. Akil menjelaskan bahwa permasalahan pada perselisihan hasil Pemilukada bukan hanya mempersoalkan perselisihan angka-angka perolehan suara peserta Pemilukada yang ditetapkan KPU.
“Seolah-olah MK hanya diminta mengoreksi kalkulasi suara yang telah dilakukan oleh KPU dan jajarannya, dengan mengabaikan berbagai pelanggaran dalam proses pemilukada,” imbuh Akil.
Padahal, lanjut Akil, kedudukan dan fungsi MK sebagaimana dijelaskan dalam UU MK adalah menjaga atau mengawal konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita demokrasi.
“Mengawal dan menjaga konstitusi berarti termasuk pula menjaga dan mengawasi agar asas-asas pemilu yang ‘luber dan jurdil’ dipatuhi baik oleh penyelenggara pemilu maupun peserta pemilu, bahkan juga seluruh institusi yang terkait pemilu,” tegas Akil.
Sementara Sekjen MK Janedjri M. Gaffar menjelaskan sesi mengenai akses publik dan sistem administrasi peradilan modern dan terpercaya. Secara gamblang, Janedjri menerangkan sejarah dibentuknya MK di dunia yang berdasarkan Kasus Marbury vs Madison (1803), berlanjut dengan gagasan Hans Kelsen hingga lahirkan MK pertama di dunia yakni di Austria.
Janedjri juga memaparkan rekapitulasi perkara di MK hingga 13 Desember 2010 yang mencapai 697 perkara, termasuk Pemilukada yang mencapai 215 perkara, putusan Pemilukada yang diputus berjumlah 208 putusan. Selain itu Janedjri menerangkan pengertian administrasi lembaga peradilan yang modern dan terpercaya, serta good governance di lembaga peradilan.
Dalam kesempatan itu juga hadir narasumber Hakim Konstitusi Harjono yang membahas soal MK dalam sistem ketatanegaraan RI dan Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva yang menjelaskan perihal hukum acara MK. Temu Wicara “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (MK)” kerjasama MK dengan Polri itu resmi ditutup oleh Kabareskrim Polri Ito Sumardi, pada Selasa (14/12) siang. (Nano Tresna A./ mh)