Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian UU tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) terhadap UUD 1945. Pasangan pemenang Pemilukada Kab. Kotawaringin Barat yang didiskualifikasi oleh MK mempersoalkan kewenangan MK terkait mengadili perselisihan hasil suara yang diatur oleh UU Pemda. Sidang dengan agenda pemeriksaan pendahuluan tersebut digelar, Selasa (14/12) di gedung MK.
Pengujian UU Pemda tersebut diajukan oleh Pemohon, Sugianto Sabran dan Eko Soemarno. Pemohon pada persidangan kali ini diwakilkan oleh kuasa hukumnya, yaitu Arbab Paproeka, Muhammad Iskandar, Ari Nizam, Mira Stephanie, dan Ridza Khasnatahar. Sedangkan sidang diketuai oleh panel hakim, Achmad Sodiki yang didampingi anggota panel hakim, Maria Farida Indrati dan Muhammad Alim.
Kuasa hukum Pemohon, Arbab Paproeka menjelaskan permohonan yang mereka ajukan, yaitu permohonan pengujian Pasal 106 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah terhadap UUD 1945. Paproeka menjelaskan Pasal 106 ayat (2) menurut pihaknya tidak memiliki sesuatu yang dapat dipertentangkan. Hanya saja, Pemohon menganggap persoalan baru muncul setelah MK mengadili perkara Perselisihan Hasil Pemilukada Kab. Kotawaringin Barat.
Dalam perkara dengan nomor registrasi 45/PHPU.D-VIII/2010 itu Mahkamah memutuskan untuk mendiskualifikasi pemenang Pemilukada Kota Waringin Barat, yaitu Sugianto sabrab-Eko Soemarno yang juga merupakan Pemohon dari pengujian UU tentang Pemerintahan Daerah ini.
Dengan adanya keputusan MK tersebut, Pemohon menganggap terdapat perubahan struktur normal Pasal 106 ayat (2) yang mulanya berbunyi “Keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya menyangkut selisih perhitungan suara, hasil penghitungan suara”. Dengan putusan MK pada perkara perselisihan Pemilukada Kotawaringin Barat tersebut Pemohon menganggap MK secara tidak langsung telah mengubah bunyi asal tersebut karena mendiskualifikasikan Pasangan Calon Nomor urut 1 (satu).
“Dipahami bahwa Mahkamah Konstitusi bukan lembaga legislatif yang membuat undang-undang. Karena kewenangan itu ada pada DPR bersama presiden. Tetapi, konsekuensi dari Putusan Mahkamah Konstitusi itu harus dapat dibaca bahwa telah terjadi penambahan norma berkenaan dengan objek sengketa Pemilukada sebagaimana diatur dalam Pasal 106 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Oleh karenanya, permohonan ini kami ajukan dengan 2 permintaan. Pertama, mengacu kepada kewenangan konstitusional Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang dapat dibaca dalam Pasal 24C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara limitatif telah diatur sepanjang menyangkut pemilihan umum hanya menyangkut sengketa hasil penghitungan suara, bukan proses. Dan karenanya kami menilai bahwa telah terjadi pelampauan wewenang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh karenanya kami meminta dalam permohonan kami untuk membatalkan itu, atau paling tidak, kami meminta konstitusional bersyarat,” papar kuasa hukum Pemohon, Arbab Paproeka.
Pemohon juga meminta, kalau akhirnya MK memutuskan Mahkamah tetap memiliki kewenangan untuk menilai sengketa proses Pemilukada, maka putusan tersebut diterapkan pada Pemilukada selanjutnya.
Tanggapan Hakim
Menanggapi permohonan yang dipaparkan Pihak Pemohon, Ketua Panel Hakim Achmad Sodiki mengatakan permohonan di Mahkamah ada strukturnya. Pertama, dalam permohonan sebaiknya mencantumkan kelaziman, yaitu uraian tentang kewenangan MK. Kedua, di dalam permohonan semestinya dibedakan legal standing antara permohonan pengujian undang-undang dengan permohonan penyelesaian sengketa Pemilukada.
“Di sini Saudara menyebut, Saudara Eko, Saudara H. Sugianto, dan Eko Sumarno ini sebagai Pemohon calon bupati dan wakil bupati dalam konteks perselisihan hasil Pemilukada, kasus yang konkret. Sedangkan, dalam pengujian perundang-undangan itu ada warga negara Indonesia yang mengalami kerugian konstitusional. Kerugian konstitusionalnya diuraikan dengan jelas ,” saran Sodiki.
Struktur yang ketiga, harus mencantumkan objectum litis, yaitu Pasal 106 ayat (2) ataukah objectum litis-nya Putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian perselisihan hasil Pemilukada.
Sodiki juga mengingatkan mengenai alasan permohonan Pemohon yang dilihatnya berdasar implementasi pasal dalam peraturan perundang-undangan. Dijelaskan Sodiki, di dalam pengujian undang-undang yang dipertanyakan adalah apakah ada hak-hak konstitusional Pemohon yang dilanggar.
“Nah, kalau kemudian Saudara juga di dalam petitumnya meminta MK membatalkan atau setidak-tidaknya menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum Putusan MK, Saudara mesti mencari argumentasinya secara hukum acara yang berlaku di Mahkamah Konstitusi ini,” tandas Sodiki. (Yusti Nurul Agustin/mh)