Jakarta, MKOnline – Mahkamah Konstitusi kembali menggelar sidang Pengujian UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah. Sidang yang beragendakan pemeriksaan perbaikan permohonan kedua digelar, Senin (13/12).
Sidang yang diketuai Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati dan beranggotakan Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dan Hakim Konstitusi Muhammad Alim yang dihadiri Pemohon beserta tiga kuasa hukumnya. Pemohon, Uung Gunawan didampingi, Hans Yanuar Gunawan, Rheinaldo Tambunan, dan Elvia Tjahjadi selaku kuasa hukum.
Sekedar untuk diketahui, Pemohon beserta kuasa hukumnya mengajukan pengujian terhadap Pasal 6 dan pasal 15 ayat (1) huruf b UU Nomor 4 Tahun 1996. Pada persidangan kali ini Pemohon mendapat kesempatan untuk menjelaskan perbaikan permohonan yang sudah diberikan ke Mahkamah sebelumnya pada 9 Desember 2010.
“Kita telah memperbaiki di halaman 10 bahwa Pemohon beranggapan dengan diberlakukannya penafsiran oleh Direktur Lelang Direktorat Jenderal Kekayaan Negara yang merupakan instansi partikel dari bawahannya Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang Bandar Lampung terhadap Pasal 6 juncto Pasal 15 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah terhadap pengajuan parate eksekusi yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 mengakibatkan Pemohon mengalami kerugian konstitusional yakni Pemohon tidak bisa memperoleh penghidupan yang layak seperti manusia pada umumnya yang menyandang status intelektual dan berprofesi sebagai advokat,” ujar kuasa hukum Pemohon, Rheinaldo Tambunan.
Lebih lanjut, Rheinaldo mengatakan Pemohon menjadi kehilangan kesempatan untuk memperoleh penghasilan dari jasa Advokat. Selaku Advokat, Pemohon tidak dipercaya lagi oleh bank dalam pengajuan parate eksekusi di KPKNL manapun. Pemohon juga merasa telah terjadi ketidakpastian hukum maupun proses hukum yang adil, due process of law, maupun persamaan hak di muka hukum, equality before the law, akibat pengajuan parate eksekusi yang dapat dilakukan oleh kepala cabang yang mana sesuai surat kuasa direksi.
Menanggapi perbaikan permohonan Pemohon. Ketua Panel Hakim, Maria Farida Indrati mengatakan permohonan yang diajukan Pemohon terlihat sebagai akibat dari suatu pelaksanaan dari undang-undang. Maria juga melihat pasal yang hendak diajukan untuk diuji seperti yang terlihat dalam petitum Pemohon baru tentang Pasal 15 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar saja. Sedangkan Pasal 6 undang-undang yang sama tidak disebutkan. “Jadi ini kalau Anda membuat pengajuan permohonan antara petitum dan positanya harus sama. Dalam posita Anda mengkaitkan Pasal 6, tapi di dalam petitumnya Anda hanya minta Pasal 15 ayat (1). Nah, karena ini sudah perbaikan permohonan maka nanti Anda boleh membuat renvoi di sini,” ujar Maria memberikan solusi.
Konstitusional Bersyarat
Sementara itu, Anggota Panel Hamdan Zoelva menyarankan agar dalam permohonan Pemohon jangan menunjuk pada implementasi langsung. Pemohon disarankan untuk menyatakan dalam petitum bahwa pasal-pasal tersebut konstitusional bersyarat. Yang dimaksud dengan konstitusional bersyarat menurut Hamdan, yaitu menyatakan pasal-pasal tersebut konstitusional dengan syarat atau tidak konstitusional dengan syarat.
“Saudara di sini menyatakan Pasal 15 ayat (1) itu tidak konstusional. Sebenarnya, pasal itu konstitusional, tidak ada masalah dengan pasalnya. Tapi, menjadi tidak konstusional kalo ditafsirkanan seperti itu. Kalian ringkas saja ini jadi ‘Menyatakan bahwa Pasal 15 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 adalah tidak konstitusional sepanjang dimaknai bahwa parate eksekusi tidak boleh diajukan oleh kuasa atau advokat,” saran Hamdan. (Yusti Nurul Agustin/mh)