Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) sudah sejak lama bekerjasama dengan pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), misalnya dalam bidang pengamananan sidang-sidang di MK yang sedemikian penting.
“Bisa dibayangkan kalau tanpa pengamanan polisi di ruang sidang, yang seringkali terjadi insiden, orang yang mengamuk bahkan ada yang sampai menembak hakim pengadilan. Berkat kerjasama MK dengan Polri, sidang-sidang di MK bisa berjalan sangat tertib,” kata Ketua MK Mahfud MD sebelum membuka resmi Temu Wicara “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi” kerjasama MK-Polri, 13-14 Desember 2010 di Hotel Gran Melia, Jakarta.
Dikatakan Mahfud lagi, momentum temu wicara ini selain untuk memperkuat kerjasama MK dan Polri yang telah terjalin dengan baik, juga berguna bagi segenap jajaran Polri untuk memahami lebih jauh mengenai Mahkamah Konstitusi, termasuk Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
Mahfud menambahkan, dalam sidang MK sering ditemukan berbagai tindak pidana yang sudah terlanjur terjadi, tetapi belum sempat diselesaikan di pengadilan umum, antara lain teror, penganiayaan, pemukulan dan sebagainya. Bahkan sampai KPU menetapkan hasil pemilukada, kasuis pidannya belum berhasil ditangani polisi, karena pelakunya sudah keburu lari.
“Kasus semacam itu banyak masuk ke MK. Lalu, sesudah jadi perkara, KPU maupun pihak yang menang mengatakan tidak bisa digugat ke MK. Kenapa? karena sudah lewat waktu, soal pelanggaran-pelanggaran pidana itu, “ kata Mahfud.
Padahal menurut undang-undang, hal itu harus selesai sekian hari tertentu sebelum KPU mengumumkan. Kalau tidak selesai, maka dianggap tidak ada masalah itu. Artinya, tidak bisa mempengaruhi keputusan KPU. “Kalau hal itu dibiarkan terus, nanti kecurangan-kecurangan terus terjadi,” tegas Mahfud.
Oleh sebab itulah, lanjut Mahfud, MK membuat putusan yang secara yuridis bukan kewenangannya, tetapi membuat putusan berdasarkan prinsip penegakan hukum substantif melalui penemuan dan penciptaan hukum di MK.
“Kecurangan yang dalam bentuk pidana itu, bisa diadili di MK dalam konteks hukum tata negara. Jadi tidak dalam konteks hukum pidana. Karena itu, MK membatalkan hasil pemilukada karena ada bukti tindak pidana,” imbuh Mahfud. dalam acara yang juga dihadiri Wakil Ketua MK Achmad Sodiki maupun beberapa hakim konstitusi lainnya, Sekjen MK Janedjri M. Gaffar, Kabareskrim Polri Ito Sumardi, serta para pimpinan Polri dari berbagai daerah.
Lebih lanjut Mahfud menjelaskan, sekarang ada modus baru lagi yang sering terjadi selama pemilukada, bahwa yang melakukan kecurangan adalah KPU nya, entah karena kolusi dengan satu pasangan calon tertentu. Misalnya, ada orang yang secara sah mendaftar, tiba-tiba di pengumuman calon peserta pemilukada, namanya tidak muncul.
“Lantas yang bersangkutan menggugat ke PTUN dan menang. Setelah itu PTUN perintahkan untuk masukkan nama calon itu, tetapi tidak digubris juga oleh KPU, namanya dicoret. Ini modus baru di beberapa KPU,” ungkap Mahfud.
Seringnya terjadi kecurangan oleh beberapa KPU itu, sambung Mahfud, akhirnya MK menciptakan hukum sendiri, karena hakim bisa menciptakan hukum kalau memang terjadi kekosongan hukum untuk hal-hal yang terjadi berulang-ulang. (Nano Tresna A.)