Jakarta, MKOnline – Sidang Pengujian Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil kembali digelar, Kamis (9/12). Sidang yang seharusnya sudah dianggap cukup tersebut dibuka kembali dengan agenda mendengarkan keterangan pemerintah.
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD yang pada persidangan kali ini bertindak sebagai Ketua Pleno Hakim, mengatakan, sidang dengan nomor registrasi 3/PUU-VIII/2010 kembali dibuka karena MK menganggap perlu untuk mendengar keterangan dari beberapa kementerian dan unit di pemerintahan. “Perkara ini sebenarnya sudah dianggap cukup, tapi ketika Mahkamah Konstitusi ingin memutuskan, MK menganggap perlu untuk membuka lagi persidangan ini untuk mendengar keterangan dari beberapa kementerian dan unit di pemerintahan yang pada hari ini diundang,” ujar Mahfud.
Pada persidangan kali ini para hakim konstitusi bergantian menanyakan beberapa pertanyaan untuk mendalami beberapa hal yang dianggap masih kabur atau kurang jelas. Hakim Konstitusi, Ahmad Fadlil Sumadi yang mendapat kesempatan pertama menanyakan soal dua isu pokok yang dipermasalahkan Pemohon. Isu pertama, soal pemberian hak pengelolaan wilayah pesisir yang diberikan melalui izin dan bukannya melalui bukan hak pengelolaan. Pasalnya, HP3 (Hak Pengusahaan Perairan Pesisir) selain memiliki izin juga memiliki hak pengelolaan.
“Mengapa bukan izin saja? Karena dalam pandangan Pemohon dengan memberikan hak ini dipandang bertumpang tindih dengan pemberian hak yang lain. Wilayah pesisir itu kan sebenarnya sebagian berupa wilayah berupa tanah, sebagian lain berupa air sampai menjorok sekian mil, berarti di satu sisi terkait dengan soal-soal hak atas tanah dan di sisi yang lain terkait dengan soal-soal perikanan rakyat. Dalilnya itu tumpang tindih,” ujar Fadlil.
Pertanyaan senada juga dilontarkan Hakim Konstitusi, Hamdan Zoelva. Terkait dengan HP3, Hamdan menanyakan perbedaan antara hak milik dan hak kepemilikan secara filosofis. Pasalnya, Hamdan melihat keduanya memiliki prinsip-prinsip penguasaan yang sama sesuai Pasal 20 Undang-undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Hamdan mengartikan, keduanya bisa dialihkan dan dijaminkan seperti kelazimannya.
“Kalau hak ini bisa dialihkan, bisa dijaminkan dan seterusnya sesuai dengan Pasal 20, nantinya akan timbul persoalan terkait dengan hak-hak asal, hak tradisional yang ada di situ. Inilah yang dipermasalahkan oleh Pemohon. Lalu bagaimana implikasi-implikasinya menurut substansi atau filosofi yang melatarbelakangi lahirnya undang-undang ini,” jelas Hamdan.
Lebih mendalam, hakim konstitusi Akil Mochtar mengatakan di dalam undang-undang ini tidak disebutkan dengan jelas benda yang menjadi objek HP3, melainkan hanya terdapat pengaturan objek-objek tersebut dalam pasal yang berbeda-beda. Sedangkan objek yang disebut langsung oleh undang-undang ini adalah pemanfaatan perairan pesisir yang diberikan dalam bentuk pengusahaan perairan pesisir, meliputi pengusahaan atas permukaan laut dan kolam air sampai dengan permukaan laut dasar.
Lebih lanjut, Akil menjelaskan di dalam Pasal 18 Undang-undang No. 27 Tahun 2007 yang memuat definisi tentang HP3. Di dalam pasal tersebut dijelaskan ketentuan hak atas bagian tertentu dari permukaan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan dan usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil. Jadi yang mencakup atas permukaan laut maupun kolam air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas kekuasaan tertentu merupakan hak yang diperoleh dari HP3.
Berdasar itu semua, Akil menanyakan hak satuan masyarakat adat yang berada di wilayah pesisir maupun pulau-pulau kecil. Pasalnya, seperti yang termaktub dalam Pasal 28A, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang mengakui hak-hak kesatuan masyarakat adat selama tidak melanggar undang-undang yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan, di dalam Pasal 60 ayat (1) huruf j Undang-undang No. 27 Tahun 2007 dikatakan masyarakat memperoleh hak ganti rugi. “Dari konsep ini maka akan kelihatan bahwa secara langsung dapat mengancam kehidupan masyarakat nelayan pada umumnya maupun masyarakat adat yang mendiami wilayah pesisir. Kemudian, dengan mereka berhak menerima ganti kerugian atau kompensasi berarti terjadi pengalihan hak,” urai Akil.
Jawaban Pemerintah
Pihak kementerian yang hadir dalam persidangan kali itu, yaitu Sapta dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, S. Aditya Wijaya dari Kementerian Dalam Negeri, Mualimin Abdi dari Kementerian Hukum dan Hak Azasi Manusia, Inar Ikhsana Ishak dari Kementerian Lingkungan Hidup, Krisna Riakudu dari Kementerian Kehutanan, Sunaryato dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, dan Dadang Rukmana dari Kementerian Pekerjaan Umum.
Kementerian-kementerian tersebut sebelum menghadiri persidangan itu sudah melakukan koordinasi sehingga mereka cukup diwakili oleh satu orang untuk menjawab pertanyaan dari hakim konstitusi. Sapta dari Kementerian Kelautan dan Perikanan yang mewakili kementerian-kementerian untuk menjawab pertanyaan dari hakim.
Sapta menjelaskan konsep property right dan property regime yang ada dalam undang-undang No. 27 Tahun 2007 sebenarnya digali dari pengalaman tradisional community based management seperti sasi, mane'e, panglima laot dan sebagainya yang pernah ada di Indonesia. Pengalaman tradisional tersebut kemudian dikombinasikan dengan konsep kontemporer modern yang dikembangkan di negara lain dan dikenal dengan nama individual transferable quotas.
Menjawab mengenai pertanyaan apa yang sebenarnya menjadi objek HP3, Sapta menjawab objek dari HP3 adalah air dan bukan bagian dari daratan wilayah pesisir tapi perairan yang sepanjang tahun terendam air, yaitu tidak termasuk daerah intertidal yang pada saat pasang terendam air dan pada saat surut kering.
“Maka di dalam undang-undang ini disebut hak-hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan, mulai dari permukaaan kolam air sampai permukaan dasar laut dan tidak termasuk tanah dari dasar laut. Jadi, objek bendanya itu airnya,” jelas Sapta.
Kemudian Sapta menjelaskan mengapa HP3 disebut hak dan bukannya ijin. Ia mengatakan disebut hak karena di atas HP3 tersebut ada ijin usaha. Karena itu, ketika seseorang atau lembaga hendak mengembangkan usahanya maka harus meminta izin ke kementerian atau jajarannya yang dapat memeberi izin usaha.
Sapta juga menjelaskan bahwa HP3 baru dapat diberikan bila seluruh tahapannya sudah diselesaikan. Tahapan-tahapan tersebut antara lain pemerintah daerah kabupaten kota atau provinsi harus menyelesaikan terlebih dulu rencana strategis dan rencana zonasi yang di-Perda-kan. Kalau belum di-Perda-kan maka Pemda tidak dapat menerbitkan HP3 bagi Pemohon. “Jadi ini merupakan satu konsep stick and carrot. Kalau Pemda menyusun perencanaannya dan perencanaannya ini sudah disepakati oleh DPRD melalui Perda maka mereka mempunyai kewenangan. Di dalam perencanaan ini dialokasikan daerah mana saja yang masuk dalam kawasan konservasi, kawasan pemanfaatan umum, dan alur untuk pelayaran,” paparnya.
Dalam kesempatan yang sama, Sapta juga membantah konsep HP3 bertabrakan dengan BPN. Ia menjelaskan, BPN mengatur hak di atas tanah, yaitu wilayah pesisir yang drailand. Dan HP3 hanya mencakup perairan yang sepanjang tahun terendam air. Terkait dengan isu pengkavlingan, Sapta mengatakan kegiatan-kegiatan usaha kelautan yang bisa dikembangkan di wilayah ber-HP3 adalah yang tidak boleh merusak ekosistem terumbu karang, tidak boleh merusak sub bottom organism sesuai Pasal 35 UU No. 27 Tahun 2007.
Soal pemberdayaan masyarakat sekitar wilayah HP3 diatur juga bahwa siapa pun pemegang HP3 harus memberdayakan masyarakat yang tinggal di wilayah di mana HP3 itu diberikan. “Nelayan harus diijinkan melewati wilayah HP3. Dan air wilayah perairan yang diberikan HP3 tidak dikavling karena ikan tidak bisa dibatasi. Dari situ konsep HP3 terlihat, yaitu usaha yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan media air untuk kegiatan usaha. Jadi tidak ada yang seperti HPH, ada kayu hutan yang ditebang. Air tidak bisa diambil dan dijual. Karena itu pengusaha yang diberikan HP3 harus mengembangkan usaha tersebut untuk mendapatkan maanfaat. Dan konsep ini menepis anggapan kalau diberikan HP3 maka dunia usaha akan tereksploitasi,” jelas Sapta panjang lebar. (Yusti Nurul Agustin/mh)