Jakarta, MKOnline - Langkah Arsyid-Andre Taulany untuk menduduki kursi walikota Tangerang Selatan masih terbuka setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mengabulkan untuk sebagian permohonannya, Jumat (10/12), di Ruang Sidang Pleno. Dalam pembacaan putusan yang diketuai oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD dengan didampingi delapan orang hakim konstitusi, Mahkamah juga menolak permohonan pasangan calon nomor urut 1, yakni Yayat Sudrajat-Moch. Norodom Sukarno. Perkara perselisihan hasil Pemilukada Tangerang Selatan ini teregistrasi Kepaniteraan MK dengan dua nomor perkara berbeda, yakni 209/PHPU.D-VIII/2010 dan 210/PHPU.D-VIII/2010.
“Memerintahkan kepada KPU Kota Tangerang Selatan untuk melakukan pemungutan suara ulang dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kota Tangerang Selatan di seluruh TPS se-Kota Tangerang Selatan yang diikuti oleh Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, yaitu: Yayat Sudrajat-Moch. Norodom Sukarno, Rodhiyah Najibhah-H.E. Sulaiman Yasin, Arsid-Andreas Taulany, serta Airin Rachmi Diany-Benyamin Davnie,” jelas Mahfud.
Dalam kesimpulan yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki, Mahkamah menyimpulkan beberapa hal dari fakta-fakta hukum yang terungkap dalam persidangan. Sodiki menjelaskan bahwa Pemohon I, Termohon dan Pihak Terkait terbukti melakukan pelanggaran dalam Pemilukada Kota Tangerang Selatan. Akan tetapi, lanjut Sodiki, pelanggaran yang dilakukan oleh Termohon dan Pemohon I tidak secara signifikan memengaruhi perolehan dan peringkat suara masing-masing pasangan calon karena tidak terstruktur, sistematis, dan masif. “Sementara itu, pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pihak Terkait telah ternyata melibatkan struktur kekuasaan mulai dari Pejabat di tingkat Kota, Camat, Lurah, dan Ketua RT/RW yang dalam praktiknya menggunakan uang atau barang yang dibagikan kepada dan oleh aparat dengan disertai tekanan-tekanan terhadap para pegawai yang tidak sejalan dengan sistematisasi dan strukturisasi pemenangan Pihak Terkait tersebut,” paparnya.
Sodiki juga menguraikan bahwa bantahan-bantahan yang diberikan oleh Pihak Terkait tidak meyakinkan Mahkamah untuk menghilangkan kesan pelanggaran yang sistematis, terstruktur, dan masif. “Baik karena bantahan tersebut tidak tertuju langsung pada fakta hukum yang dihadirkan di persidangan maupun karena pembantahnya tidak dapat mematahkan fakta hukum yang diajukan oleh
Pemohon I.” Jelas Sodiki.
Selain itu juga, lanjut Sodiki, Termohon tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan pelanggaran sehingga tidak dapat dinyatakan bersalah dan permohonan-permohonan para Pemohon sejauh ditujukan kepada Termohon harus ditolak. Sedangkan mengenai adanya pelanggaran -pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif yang dilakukan oleh Pihak Terkait telah meyakinkan Mahkamah mengambil putusan untuk mengabulkan sebagian permohonan Pemohon I, yaitu pemungutan suara ulang di seluruh Kota Tangerang Selatan untuk memberikan legitimasi terhadap penyelenggaraan Pemilukada Kota Tangerang Selatan Tahun 2010. “Akan tetapi, permohonan Pemohon I untuk mendiskualifikasi Pihak Terkait harus dinyatakan ditolak, karena Mahkamah berkeyakinan pemungutan suara ulang bisa diperbaiki dengan menghindarkan keterlibatan kembali aparat pemerintahan melalui pengawasan yang ketat oleh Panwaslu Kota Tangerang Selatan dengan supervisi langsung oleh Bawaslu dan KPU Provinsi Banten,” urainya.
Adapun hal-hal yang menambah keyakinan hakim untuk mengulang pemungutan suara, terang Sodiki, yaitu: Pertama, surat perintah netralitas PNS baru dikeluarkan tiga hari sebelum hari “H” sehingga mengesankan bahwa hal tersebut dimaksudkan untuk menutupi keterlibatan aparat yang telah terlanjur dilakukan secara terstruktur, sistematis, dan masif. Kedua, adanya pertemuan-pertemuan resmi antara Pihak Terkait dengan aparat pemerintah yang dilihat dari segi waktu maupun isinya tidak dapat menghilangkan keyakinan telah terjadinya mobilisasi aparat sehingga sifat terstruktur dan sistematisnya tidak terhindarkan; Ketiga, adanya surat Panwaslu Kota Tangerang Selatan bertanggal 22 November 2010 yang menyatakan PNS sudah bersikap netral sebagaimana dikemukakan oleh Sekda Dudung Diredja di persidangan tanggal 1 Desember 2010, yang justru menambah keyakinan Mahkamah bahwa nyatanya telah terjadi ketidaknetralan PNS sesuai dengan fakta hukum yang terungkap dari saksi-saksi di persidangan.
“Menurut Mahkamah, lazimnya Panwaslu hanya memberi laporan jika terjadi pelanggaran, dan bukan jika tidak ada pelanggaran. Oleh sebab itu, jika Panwaslu membuat laporan tentang tidak adanya pelanggaran, justru menimbulkan kesan adanya rekayasa bahwa laporan tersebut hanya untuk membenarkan sesuatu yang tidak seharusnya terjadi. Apalagi bukti-bukti di persidangan menunjukkan fakta yang sebaliknya, yakni adanya keterlibatan atau pelanggaran yang bersifat sistematis, terstruktur, dan massif,” jelas Sodiki.
Berdasarkan penilaian hukum dan fakta yang ada di persidangan, dalam rangkaian satu dengan yang lain, Mahkamah berpendapat bahwa pokok permohonan Pemohon I terbukti secara signifikan memengaruhi hasil Pemilukada Kota Tangerang Selatan Tahun 2010 karena adanya pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif, sedangkan permohonan Pemohon II tidak terbukti menurut hukum. “Dengan demikian, demi hukum, Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kota Tangerang Selatan Nomor 43/Kpts/KPU-Tangerang Selatan/XI/2010 tentang Penetapan dan Pengesahan Hasil Perolehan Suara Pasangan Calon Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Selatan dalam Pemilihan Umum Walikota dan Wakil Walikota Tangerang Selatan Tahun 2010, bertanggal 17 November 2010, harus dinyatakan tidak sah menurut hukum,” terang Sodiki. (Lulu Anjarsari/mh)