Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan perkara Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) Kepala Daerah Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua. Putusan Nomor 206/PHPU.D-VIII/2010 dan 207/PHPU.D-VIII/2010 ini dibacakan oleh Wakil Ketua MK Achmad Sodiki dengan didampingi enam hakim konstitusi, Senin (6/12), di Ruang Sidang Pleno MK. Perkara ini dimohonkan oleh Costan Oktemka dan Selotius Taplo yang merupakan pasangan peserta Pemilukada nomor urut 5 dan pasangan calon nomor 6, yakni Theodorus Sitokdana-Andi Balyo.
Dalam pendapat Mahkamah, Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi menjelaskan Pemohon mendalilkan jumlah suara di PPD Weime seharusnya berjumlah 10.531 suara sah bukan sejumlah 10.391 suara sah dengan uraian, yakni pasangan nomor urut 1 tidak memperoleh suara sebesar 5.326 suara, melainkan 3.894 suara. Sementara, pasangan calon nomor urut 5 memperoleh 4.851 suara, bukan 3.392 suara. Sedangkan pasangan calon nomor urut 6 tidak memperoleh sejumlah 1.763 suara, melainkan 1.786 suara. Setelah Mahkamah memeriksa alat bukti para pihak, lanjut Fadlil, bahwa terdapat tiga versi yang berbeda tentang perolehan suara masing-masing pasangan calon di Distrik Weime.
“Mahkamah berkesimpulan setelah memperoleh perhitungan perolehan suara yang benar adalah berdasarkan Model C2-KWK.KPU (Kertas Plano) dari TPS-TPS yang ditandatangani saksi-saksi Pasangan Calon Nomor Urut 1, Pasangan Calon Nomor Urut 5, Pasangan Calon Nomor Urut 6 dengan perolehan suara untuk Pasangan Calon Nomor Urut 1 sejumlah 5.276 suara, Pasangan Calon Nomor Urut 5 sejumlah 3.414 suara, dan Pasangan Calon Nomor Nomor Urut 6 sejumlah 1.786 suara. Mahkamah berpendapat bahwa jumlah perolehan suara Pemohon (Pasangan Calon Nomor Urut 5) tetap lebih sedikit dari perolehan suara Pihak Terkait (Pasangan Calon Nomor Urut 1) sehingga tidak signifikan untuk mempengaruhi peringkat perolehan suara Pemohon; Oleh karena itu dalil Pemohon harus ditolak,” jelas Fadlil.
Pemohon Tim Sukses Pasangan Calon Nomor Urut 1 saudara Decky Deal dan Yamos Kulka yang juga merupakan Ketua Panwas Distrik Weime melakukan suap terhadap Ketua dan Sekretaris PPD Weime dengan menawarkan sejumlah uang jika bersedia menggunakan data rekapitulasi Pasangan Calon Nomor Urut 1. “Termohon membantah dalil Pemohon dalam jawaban dengan menyatakan tidak pernah ada laporan dari Ketua PPD Weime kepada Panwas bahwa ada percobaan penyuapan terhadap dirinya justru sebaliknya Panwas Kabupaten Pegunungan Bintang menerima laporan dari Ketua Panwas PPD Weime bahwa yang bersangkutan disuap oleh Ketua PPD Weime. Dengan demikian dalil Pemohon tidak didukung alat bukti yang relevan secara hukum, sehingga dalil Pemohon tersebut dikesampingkan,” urai Fadlil.
Sedangkan pada perkara Nomor 207/PHPU.D-VIII/2010, Pemohon mendalilkan adanya indikasi pelanggaran dalam penyelenggaraan Pemilukada pada tingkat Distrik Weime secara sistematis, terstruktur dan masif dengan cara memasukkan suara ke dalam noken. Mengenai dalil Pemohon tersebut, lanjut Fadlil, Mahkamah setelah menilai alat bukti para pihak berpendapat terkait dengan sistem pemungutan suara dengan noken yang menjadi pokok permasalahan di atas, Mahkamah perlu menegaskan bahwa Mahkamah dapat menerima adanya cara pemilihan umum yang demikian itu dengan peraturan perundang-perundangan yang berlaku, sebagaimana telah dinyatakan dalam Putusan Nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009, bertanggal 9 Juni 2009 yang pada intinya menyatakan bahwa Mahkamah dapat memahami dan menghargai nilai budaya yang hidup di kalangan masyarakat Papua yang khas dalam menyelenggarakan pemilihan umum dengan cara atau sistem “kesepakatan warga” atau “aklamasi”. Mahkamah menerima cara pemilihan kolektif.
“Namun, tentu saja pelaksanaan noken dan hasil perolehan suara dari penerapan sistem noken harus tetap didasarkan pada jumlah riil masyarakat yang memiliki hak pilih sesuai dengan syarat yang diatur oleh peraturan perundang-undangan Terhadap dalil Pemohon a quo secara mutatis mutandis, berlaku pertimbangan Mahkamah pada perkara Nomor 206/PHPU.D-VIII/2010. Dengan demikian menurut Mahkamah, dalil Pemohon tersebut harus dikesampingkan,” papar Fadlil. (Lulu Anjarsari/mh)