MK Mendiskusikan Pelaksanaan E-voting dengan âInternational Ideaâ
Rabu, 08 Desember 2010
| 14:06 WIB
Wakil Ketua MK, Achmad Sodiki sedang Mendiskusikan Pelaksanaan E-voting dengan "International Idea"
Jakarta, MKOnline - Mahkamah Konstitusi (MK) mendiskusikan pelaksanaan elektronic voting dengan ahli teknologi Pemilu dari International Idea, Peter Wolf pada Jumat (3/12). Dalam diskusi tersebut dibicarakan mengenai pelaksanaan e-voting dengan konteks Indonesia.
Wolf Wolf dalam kesempatan itu disambut dua hakim konstitusi, yaitu Wakil Ketua MK Achmad Sodiki dan Harjono. Mereka membicarakan kemungkinan-kemungkinan penerapan teknologi e-voting yang dapat digunakan di tiap-tiap daerah di Indonesia yang memili keragaman budaya, bahasa, tingkat pendidikan, hingga tingkat kesejahteraan ekonomi.
Saat ini, setelah MK mengeluarkan keputusan No. 147/PUU-VII/2009 yang membolehkan penggunaan e-voting dalam Pemilu, Wolf bersama Cetro sedang menyusun sebuah policy paper tentang kerangka implementasi e-voting. Policy paper tersebut digunakan sebagai acuan dalam pengambilan kebijakan untuk memutuskan pengadaan e-voting di suatu negara, termasuk Indonesia.
Di dalam policy paper itu Cetro bersama International Idea berusaha memaparkan poin-poin apa saja yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksaan e-voting ditambah dengan unsur legalnya seperti yang MK lakukan. “Di dalam policy paper tersebut dipaparkan beberapa sistem e-voting, ada beberapa jenis alat, kemudian ada keunggulan dan kelemahan, di setiap sistem termasuk di dalam penggunaan kertas pun ada kekurangan,” jelas Peter.
Lebih lanjut, Wolfmengungkapkan secara umum di beberapa negara yang diperkenalkan sistem e-voting tersebut, kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu dapat diminimalisasi. Selain itu, penerapan e-voting dapat mengurangi biaya penyelenggaraan Pemilu. Wolf mengakui penerapan e-voting juga menimbulkan beberapa tantangan, seperti adanya pro-kontra dan pertanyaan tentang transparansi penerapan sistem ini. Karena itu, Wolf menyarankan agar pelaksanaan e-voting perlu disesuaikan dengan konteks di masing-masing negara.
Menanggapi paparan Wolf, Wakil Ketua MK Achmad Sodiki mengatakan persoalan yang terdapat di Indonesia kalau menyelenggarakane-voting adalah tidak adanya tingkat kesiapan yang sama di tiap daerah. Selain itu, di bebarapa daerah juga mengalami pemekaran wilayah sehingga muncul problem utama yang terus-menerus terjadi, yaitu daftar pemilih tetap yang tidak pasti.
“Menurut pendapat kami perlu disusun suatu petunjuk teknis yang kemudian bisa digunakan sebagai panduan sebagai studi kelayakan yang bisa melihat sistem di dunia ini., mana yang cocok bagi Indonesia. Kalau mau seragam di seluruh Indonesia, panduan ini harus ada di tingkat nasional,” saran Sodiki.
Sodiki juga mengingatkan agar ada suatu badan yang dapat mengevaluasi kesiapan penerapan e-voting. KPU dapat bekerja sama dengan Kementerian Dalam Negeri untuk menerbitkan single identity yang dapat digunakan sebagai tanda keikutsertaan Pemilu sekaligus sebagai alat untuk dapat memberikan suara.
Hakim Konstitusi, Harjono yang kali itu turur hadir mendampingi Sodiki mengatakan, tantangan utama yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan e-voting adalah jangkauan area penyelenggaraan e-voting yang luas dan daerah yang jauh. Karena itu, menghitung biaya pelaksanaan e-voting sebetulnya sangat kompleks, bukan dihitung per mesin saja.
Pasalnya, pelaksanaa e-voting dapat mengubah banyak hal dalam proses penyelenggaraan Pemilu. Salah satu contohnya adalah perlu edukasi bagi masyarakat mengenai tata cara pemberian suara dengan sistem e-voting. “Edukasi kepada masyarakat itu juga memerlukan biaya jadi perlu diperhatikan juga yang eperti itu,” ingat Harjono. (Yusti Nurul Agustin/mh)