Jakarta, MKOnline - Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati, Selasa (30/11) menerima kunjungan sekitar 20 mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung di Ruang Rapat 1 Lt. 11 Gedung Mahkamah Konstitusi. Dalam kesempatan yang hanya sekitar 60 menit tersebut, Hakim Konstitusi Maria Farida menyampaikan materi bertajuk “Hukum Acara Pengujian Undang-undang Mahkamah Konstitusi.”
Materi yang disampaikan meliputi kewenangan MK menurut Pasal 24 C UUD 1945 dan Perubahan UU 32/2004, kewajiban MK menurut Pasal 10 UU No.24/2003, ketentuan-ketentuan terkait pengujian UU meliputi legal standing dan posita, amar putusan serta ketentuan nebis in idem dalam pengujian UU. Ada hal-hal yang menarik disampaikan Ibu Maria, demikian beliau biasa disapa, terutama terkait penjelasan Pasal 20 ayat 5 UUD 1945 yang berbunyi : “Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan undang-undang tersebut disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.” Pasal ini problematik dan sebenarnya tidak diperlukan, oleh karena pasal ini dirumuskan dalam perubahan kedua sebelum MK lahir. “Untungnya Presiden SBY tidak pernah tidak menandatangani undang-undang,” kata Maria.
Sedangkan undang-undang yang dapat diujikan berdasarkan pada Putusan MK Nomor 06/PUU-II/2004 mengenai Pengujian UU No.24 Tahun 2004 tentang MK dan UU No. 1 Tahun 1987 tentang KADIN adalah setiap Undang-undang, sebab ketentuan batas waktu sebagaimana diatur Pasal 50 UU No.24/2003 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Maria menjelaskan dalam permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 permohonan dibuat dalam bahasa Indonesia dan dibuat dalam rangkap 12 buah. Kemudian Panel Hakim akan memeriksa apakah duduk perkara sesuai dengan petitum atau tuntutannya, demikian juga apakah pasal tersebut telah diujikan sebelumnya. Meskipun demikian, lanjut Maria, masalah nebis in idem amat jarang terjadi, sebab pada kenyataannya pasal yang diujikan sama namun batu ujinya berbeda. Setelah Hakim Panel memeriksa perkara, kemudian membuat draf putusan yang dibaca per kalimat dalam Rapat Permusyawaratan Hakim dimana hakim beradu teori, buku yang jadi rujukan, keyakinan dan tidak tertutup kemungkinan harus Ketua MK yang memutuskan sesuai kewenangannya. Setelah pembacaan dalam Sidang Pleno, putusan dapat dibaca publik dalam 10 menit melalui website Mahkamah Konstitusi.
“Dalam soal Pengujian UU Penodaan Agama, misalnya saya mengajukan dissenting opinion. Waktu itu dalam Rapat Permusyawaratan Hakim terjadi perdebatan keras dan saling mengeluarkan Al Qur’an-nya masing-masing,” jelas Maria menggambarkan suasana pengujian UU Penodaan Agama.
Menjawab pertanyaan seorang mahasiswa tentang adanya putusan MK yang melampaui wewenangnya, Maria menegaskan bahwa ultra petita terjadi karena ada sebabnya, yakni karena ayat atau pasal yang diujikan terkait dengan pasal atau ayat lainnya. “Namun demikian, ultra petita seperti dalam putusan UU KY yang menyatakan KY tidak bisa mengawasi Hakim MK menurut saya tidak tepat,” kata Maria lugas.
Terkait status Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK), Maria menyatakan bahwa PMK bukan peraturan perundang-undangan, sehingga tidak diundangkan dan tidak menjadi obyek pengujian di Mahkamah Agung. PMK merupakan aturan internal yang hanya mengikat ke dalam institusi Mahkamah Konstitusi.
Demikian juga, menjawab kebingungan mahasiswa jika suatu Peraturan Pemerintah yang mendasarkan diri pada suatu UU diuji ke MA, sedangkan UU-nya sedang diuji di MK, Maria menjawabnya bahwa hal itu tidak ada masalah, jika PP tersebut memang bertentangan dengan UU tersebut. MK tidak akan menguji putusan MA, tapi menguji UU-nya, terlebih lagi telah ada ketentuan dalam Pasal 55 UU No.24/2003 yang berbunyi: “Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah agung wajib dihentikan apabila undang-undang tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi.”
Seusai kuliah, salah seorang dosen pendamping dari Fakultas Hukum Universitas Padjajaran menyatakan puas dengan penjelasan hakim tersebut, sehingga menjadi lebih tahu tentang detil hukum acara MK, misalnya tentang detil batas waktu dalam permohonan, dinamika Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH). “Selama ini mahasiswa hanya membaca dari buku saja”, kata dosen tersebut. (Dwi Nugroho/mh)