Jakarta, MKOnline - Sebanyak 29 orang mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Yayasan Perguruan Tinggi Bangka (Pertiba) Pangkal Pinang mengunjungi MK, pada Rabu (24/11) siang. Mereka diterima oleh Hakim Konstitusi M. Arsyad Sanusi di Ruang Diklat Lt. 8 gedung MK.
Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk menambah wawasan yang secara teoritis dipelajari di kampus, mendapatkan penjelasan langsung dari nara sumber dari pelaku kekuasaan peradilan.
Dalam kuliah yang berlangsung sekitar 90 menit, Hakim Konstitusi menyampaikan sebuah makalah yang berjudul “Pengujian Undang-undang Terhadap Undang-undang Dasar oleh Mahkamah Konstitusi RI.” Materi paparannya meliputi wewenang dan fungsi MK RI, model-model pengujian Undang-Undang (constitutional review/judicial review), arah baru penafsiran konstitusi, ketentuan-ketentuan dalam permohonan pengujian Undang-Undang, alat bukti dan tahapan persidangan, sistematika putusan serta tentang ultra petita dalam pengujian Undang-Undang.
Hakim Konstitusi M. Arsyad Sanusi menjelaskan MK menggunakan Contemporary Interpretation. Lanjut Arsyad, hakim tidak bisa di menara gading, hanya membaca buku, namun harus melihat asas kemanfaatan dalam berlakunya suatu Undang-Undang dan menerapkan paradigma hukum progresif seperti yang ditulis Satjipto Rahardjo. Penafsiran historis yang biasa digunakan di masa lalu memang melarang hakim memasuki wilayah para pembuat Undang-Undang, mungkin hal itu yang menyebabkan DPR sering marah-marah terhadap putusan MK.
Kepada peserta kuliah, Hakim Konstitusi M. Arsyad Sanusi mengajukan pertanyaan: Apakah orang asing boleh mengajukan permohonan pengujian UU? Dari sembilan mahasiswa yang ditanya, hanya satu orang yang menjawab mendekati kebenaran, yakni tidak boleh. “Ora iso, kata orang Jawa”, demikian tegas Arsyad menjelaskan dengan bahasa sederhana. Lanjutnya, dasarnya adalah Pasal 51 ayat 1 huruf a Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang berbunyi: “(1) Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia;”
Salah seorang peserta bernama M. Kamil Khatib menanyakan tentang siapa yang mengawasi hakim konstitusi, dengan tegas Arsyad menjawab: “Yang awasi Allah Swt, dan putusan MK bersifat erga omnes atau berlaku untuk semua warga negara”. Lebih lanjut, menjawab pertanyaan sifat putusan MK terhadap pendapat DPR yang menyatakan Presiden melanggar hukum, Arsyad menjelaskan putusan MK tidak bersifat comdemnator (menghukum), namun bersifat deklaratif yakni pernyataan tidak mengikat dan konstitutif. Dalam hal ini putusan MK masih harus disidangkan oleh DPR untuk kemudian keputusan akhir dalam Sidang MPR. “Oleh karena itu, ada yang berpendapat tidak semua putusan MK final,” demikian kata Arsyad.
Seusai kuliah, H. Marbawi, Ketua STIH Yayasan Pertiba, Pangkal Pinang kepada MK Online menyatakan puas dengan penjelasan hakim konstitusi. “Kami jadi tambah wawasan, selama ini teoritis, sekarang sudah dapat penjelasan, jawaban dari segi prakteknya. Penjelasan bapak hakim dapat dijadikan naras umber dalam penelitian, skripsi maupun tesis mahasiswa,” tandasnya sebelum beranjak pergi menyiapkan kunjungan ke lembaga lain esok harinya. (Dwi Nugroho/mh)