Jakarta, MKonline - Rangkaian kegiatan “Pendidikan Kesadaran Berkonstitusi bagi Guru PKn Terbaik Tingkat Nasional 2010” pada Selasa (23/11) diselingi diskusi para peserta dengan sejumlah narasumber yang namanya akrab dalam dunia hukum, konstitusi dan persoalan ketatanegaraan. Di antaranya hadir Hakim Konstitusi M. Akil Mochtar dan Maria Farida Indrati, dan para pelaku sejarah perubahan UUD 1945 yakni Slamet Effendy Jusuf dan Gregorius Seto Harianto dan Valina Singka Subekti.
Hakim Konstitusi Akil Mochtar mengetengahkan tema ”Kekuasaan Pemerintahan Negara Menurut UUD 1945”. Dalam kesempatan itu Akil menjawab berbagai pertanyaan peserta, mulai dari kemungkinan dibubarkannya parpol, pengembalian Pemilukada ke DPRD, soal status guru PNS yang mencalonkan diri sebagai anggota DPR, apakah harus melepaskan jabatannya sebagai PNS atau tidak bila sudah terpilih.
Selain itu, Hakim Akil Mochtar mengungkapkan bahwa kemerdekaan berdemokrasi di Indonesia melalui partai politik, serta hak setiap warga negara mengeluarkan pendapat telah dijamin oleh UUD 1945, seperti tertuang pada Pasal 28 UUD 1945 bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat diatur oleh undang-undang.
Kemudian tokoh dari Forum Konstitusi, Gregorius Seto Harianto menyampaikan tema ”Pendidikan dan Kebudayaan Menurut UUD 1945”. Seto menyebutkan Pasal 31 UUD 1945 mengenai hak warga negara memperoleh pendidikan dan pemerintah mengupayakan satu sistem pendidikan nasional. Sedangkan mengenai kebudayaan disebutkan dalam Pasal 32 UUD 1945.
Diskusi makin menghangat saat hadir narasumber Slamet Effendy Jusuf yang membahas tema ”Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi Manusia dan Agama Menurut UUD 1945”. Dikatakan Slamet, salah satu sebab UUD 1945 diubah karena ada keinginan agar UUD 1945 lebih meningkatkan harkat dan martabat manusia dalam konteks konstitusi, termasuk di dalamnya masalah hak warga negara.
”Pada masa lalu, ada perdebatan tentang hal-hal terkait hak warga negara maupun hak asasi manusia. Saat UUD dibentuk, ada perdebatan antara kelompok yang dipelopori Bung Hatta, menginginkan segala hal terkait hak asasi manusia dicantumkan dalam UUD 1945. Di sisi lain, ada yang mengatakan hak asasi manusia bersumber dari filsafat individualisme, suatu yang tidak cocok untuk Indonesia,” ungkap Slamet yang juga menyebutkan pasal demi pasal di UUD 1945 terkait hak-hak warga negara, hak asasi manusia dan agama.
Sesi berikutnya, hadir Valina Singka Subekti yang mengambik tema ”Sistem Presidensial dan Kompleksitasnya”. Dikatakan Valina, salah satu hasil perubahan sangat penting adalah penerapan sistem pemerintahan presidensial sebagai sistem pemerintahan di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sistem ini dianggap sebagai sistem terbaik untuk menghasilkan pemerintahan yang kuat dan produktif agar mampu merealisasikan amanah Pembukaan UUD 1945 yaitu menciptakan masyarakat sejahtera dan berkeadilan sosial.
Selanjutnya, narasumber lainnya Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mengulas masalah latar belakang pembentukan Mahkamah Konstitusi dan pembentukan undang-undang. Sedangkan Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva membahas masalah kekuasaan kehakiman di Indonesia, yang sebelum perubahan UUD 1945 dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).
”Setelah perubahan UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh MA beserta empat lingkungan peradilan di bawahnya yakni pengadilan umum, pengadilan agama, pengadilan militer dan pengadilan tata usaha negara. Selain itu, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi,” tandas Hamdan. (Nano Tresna A./mh)