Jakarta, MKonline - Mahkamah Konstitusi (MK) berfungsi untuk mengawal norma undang-undang agar sesuai dalam koridor Konstitusi. Hal ini disampaikan oleh Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva ketika menerima kunjungan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Senin (22/11), di Aula Gedung MK.
“Bisa dikatakan MK merupakan polisi Konstitusi karena harus mengawal norma untuk tetap dalam koridor Konstitusi,” jelas Hamdan.
Dalam kesempatan itu, Hamdan juga memaparkan bahwa MK terbentuk sebagai hasil dari perubahan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Konstitusi. Salah satu hasil perubahan UUD 1945 yang terjadi pada kurun waktu dari 1999 – 2002 tersebut, lanjut Hamad, adalah mengubah prinsip negara Indonesia menjadi negara hukum. “Setelah perubahan UUD 1945, Indonesia menjadi Negara hukum yang menerapkan hukum materiil yang didasarkan pada Hak Asasi Manusia (HAM). Implikasi dari prinsip ini tercermin dalam putusan MK yang mengedepankan keadilan substantif berdasarkan HAM. Jadi, saling berkaitan satu sama lain,” urainya.
Pada awalnya, jelas Hamdan, MK dibentuk menyesuaikan pemikiran M. Yamin, yakni sebagai lembaga yang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (judicial review). Akan tetapi, sambung Hamdan, setelah dilakukan studi banding ke 50 negara baik Eropa hingga Asia, maka kewenangan MK pun ditambah. “MK pun memiliki kewenangan untuk memutus sengketa kewenangan antarlembaga negara. Kewenangan ini juga dimiliki oleh MK Jerman. Bahkan MK Jerman mempunyai kewenangan memutus sengketa antara Pemerintah Pusat dan Federal. Kemudian kewenangan dalam pemakzulan presiden (impeachment),” paparnya.
Selain kewenangan tersebut, jelas Hamdan, ada pula kewenangan memutus sengketa hasil pemilihan umum baik pemilihan umum legislatif maupun pemilihan umum kepala daerah. Menurut Hamdan kewenangan MK tersebut merupakan perwujudan dari fungsi MK sebagai pengawal demokrasi (Guardian of the Democration). “MK mengawal demokrasi agar tetap berjalan pada rel nomokrasi,” terangnya.
Hamdan juga menyinggung mengenai putusan MK dalam perkara sengketa hasil Pemilu yang dianggap beberapa pihak menyimpang dari undang-undang. “MK memang memutuskan tak sebatas mengenai hasil penghitungan suara, tetapi juga mengenai pelanggaran. Itu pun jika pelanggaran yang ditemukan tersebut bersifat massif, terstruktur dan tersistematis, maka MK bisa membatalkan hasil penghitungan suara. Semua itu semata-mata karena MK menjalankan fungsinya sebagai pengawal Konstitusi,” jelasnya.
Menanggapi tentang banyaknya putusan MK yang bersifat ultra petita, Hamdan menjelaskan bahwa ada beberapa pertimbangan majelis hakim konstitusi. Menurut Hamdan, ada tiga pertimbangan, yakni pasal yang diminta dan diuji oleh Pemohon adalah pasal ‘jantung’ dalam undang-undang tersebut, pasal yang diuji terkait dengan pasal lain dan tidak berdiri sendiri dalam undang-undang yang diujikan serta problem implementasi putusan MK. “Akan tetapi, penggunaan ultra petita dilakukan dalam pengujian undang-undang yang menyangkut kepentingan umum dan putusannya bersifat erga omnes. Jika untuk kepentingan umum menghendaki hakim tidak boleh terpaku pada permohonan. Selain itu, MK menganut prinsip hakim pasif dan yurisprudensi putusan ultra petita telah diterima sebagai hukum,” tandas Hamdan (Lulu Anjarsari/mh)