Jakarta, MKonline - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan aturan mengenai jumlah keanggotaan serikat pekerja pada sebuah perusahaan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU ketenagakerjaan) bertentangan dengan UUD 1945. Demikian amar putusan Nomor 115/PUU-VIII/2010 yang dibacakan oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD yang didampingi oleh delapan hakim konstitusi lainnya, Rabu (10/11), di Gedung MK. Perkara ini diajukan oleh Ronald Ebenhard Pattiasina dan Puji Rahmat sebagai pribadi atau mewakili Serikat Pekerja BCA Bersatu.
Mahkamah menyatakan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu, Mahkamah menyatakan Pasal 120 ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional).
Konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), jelas Moh Mahfud, sepanjang: i) frasa, “Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka...”, dihapus, sehingga berbunyi, “para serikat pekerja/serikat buruh membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh”. Dan ii) ketentuan tersebut dalam angka (i) dimaknai, “dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh, maka jumlah serikat pekerja/serikat buruh yang berhak mewakili dalam melakukan perundingan dengan pengusaha dalam suatu perusahaan adalah maksimal tiga serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya minimal 10% (sepuluh perseratus) dari seluruh pekerja/buruh yang ada dalam perusahaan”.
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi Muhammad Alim, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 120 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang mensyaratkan hanya serikat pekerja/serikat buruh yang memiliki anggota lebih dari 50% yang berhak ikut dalam melakukan perundingan PKB dengan pengusaha adalah merupakan ketentuan yang tidak adil dan memasung serta meniadakan hak mengeluarkan pendapat untuk memperjuangkan hak, kepentingan, dan melindungi pekerja/buruh yang tergabung dalam serikat pekerja/serikat buruh yang jumlah anggotanya kurang dari 50% dari keseluruhan pekerja di satu perusahaan. Alim menjelaskan serikat pekerja/serikat buruh yang memilliki anggota lebih dari 50% dari keseluruhan pekerja dalam suatu perusahaan, misalnya 50,1% akan meniadakan hak-hak musyawarah dari 49,9% dari serikat pekerja/serikat buruh lainnya adalah sangat tidak adil. “Menurut Mahkamah Pasal 120 ayat (1) UU Ketenagakerjaan melanggar hak-hak konstitusional Pemohon untuk mewakili pekerja/buruh dalam menyampaikan aspirasinya melalui perjanjian kerja bersama. Dengan demikian, dalil Pemohon mengenai pasal a quo beralasan menurut hukum. Berdasarkan pertimbangan tersebut, menurut Mahkamah, Pasal 120 ayat (1) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945,” urainya.
Walaupun Pemohon hanya memohon pengujian Pasal 120 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, jelas Alim, menurut Mahkamah, konsekuensi dari ketentuan yang terkandung dalam Pasal 120 ayat (2) sama dengan konsekuensi dari ketentuan yang terkandung dalam Pasal 120 ayat (1), yaitu keduanya sama-sama dapat menghilangkan hak-hak konstitusional yang dimiliki oleh serikat pekerja/serikat buruh atau gabungan serikat pekerja/serikat buruh yang anggotanya kurang dari 50% dari seluruh pekerja/buruh dalam perusahaan atau hak pekerja/buruh yang tergabung di dalamnya. “Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa Pasal 120 ayat (2) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945,” ujarnya.
Alim memaparkan bahwa Mahkamah berpendapat norma yang terkandung dalam Pasal 120 ayat (3) UU Ketenagakerjaan justru sesuai dengan prinsip keadilan proporsional. Oleh karena Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka ketentuan Pasal 120 hanya tinggal satu norma yaitu norma yang terkandung dalam Pasal 120 ayat (3). “Namun demikian, karena ketentuan Pasal 120 ayat (3) merupakan rangkaian dari Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2), maka untuk menghindari kekacauan makna dan ketidakjelasan norma yang terkandung dalam Pasal 120 ayat (3) yang justru bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang harus dijamin oleh konstitusi, maka Mahkamah juga harus menilai dan mempertimbangkan Pasal 120 ayat (3) sebagai satu rangkaian dan kesatuan yang utuh dengan ketentuan Pasal 120 ayat (1) dan ayat (2),”paparnya.
Pemohon dalam permohonan a quo, juga mengajukan pengujian Pasal 121 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan, “Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal 120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota”. Terhadap dalil permohonan Pemohon tersebut, lanjut Alim, Mahkamah menilai bahwa persyaratan kartu anggota sebagai alat bukti bagi tanda keanggotaan seseorang dalam satu serikat pekerja/buruh, adalah merupakan hal yang wajar dalam organisasi untuk dapat secara sah menyatakan klaim mewakili anggota. Kartu tanda anggota adalah salah satu bukti secara administrasi keanggotaan seseorang. “Dalam sistem administrasi, semua kegiatan dan bidang hukum menggunakan kartu tanda anggota. Beberapa contoh di antaranya, Korps Pegawai Negeri Sipil (Korpri), kartu tanda peserta asuransi kesehatan (Askes), kartu tanda anggota TNI atau anggota Kepolisian RI (Polri) bahkan seluruh rakyat Indonesia yang sudah mencapai umur tertentu menggunakan kartu tanda penduduk (KTP). Berdasarkan pandangan tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa ketentuan Pasal 121 UU Ketenagakerjaan tidak cukup mendasar dapat dipandang bertentangan dengan UUD 1945,” urainya. (Lulu Anjarsari/mh)