Jakarta, MKOnline - Perbedaan persyaratan dukungan calon antara parpol dan nonparpol sebagaimana termaktub dalam UU 12/2008, menurut MK telah mencerminkan adanya keseimbangan. Dalam putusannya yang dibacakan Rabu (10/11/2010), MK melihat Pasal 59 ayat (2a) dan ayat (2b) UU a quo yang diajukan Pemohon, tidak bertentangan dengan konstitusi.
Pemohon perkara 141/PUU-VII/2009 ini adalah Muhammad Soleh. Ia mendalilkan Pasal 59 ayat (2a) dan ayat (2b) UU 32/2004 sebagaimana telah diubah dengan UU 12/2008 sepanjang frasa,“harus didukung sekurang-kurangnya 6.5% (enam koma lima persen), 5% (lima persen), 4% (empat persen) dan 3% (tiga persen)”, dan ayat (2e) sepanjang frasa “dibuat dalam bentuk surat dukungan yang disertai dengan“, dan ayat (5a) huruf b sepanjang frasa “pernyataan dukungan yang dilampiri dengan“ UU 32/2003 yang telah diubah dengan UU 12/2008 bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28H ayat (2), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
Menurut Soleh, yang bertentangan dengan UUD 1945 adalah ketentuan yang mengatur tentang persyaratan calon perseorangan dalam pemilukada sebagaimana diatur oleh UU 12/2008 yang mengubah Pasal 59 UU 32/2004 dengan menambahkan ayat (2a) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, ayat (2b) huruf a, huruf b, huruf c dan huruf d dan ayat (5a) huruf b pada Pasal 59.
Pasal 59 ayat (2a) menyatakan, pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat mendaftarkan diri sebagai Pasangan Calon Gubernur/Wakil Gubernur apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan: a) provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 2. 000.000 (dua juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen); b) provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 2.000.000 (dua juta) sampai dengan 6.000.000 (enam juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5% (lima persen); c) provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 6.000.000 (enam juta) sampai dengan 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen); dan d) provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12.000.000 (dua belas juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).
Sementara itu, ayat (2b) menyatakan, pasangan calon perseorangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mendaftarkan diri sebagai pasangan calon Bupati/Wakil Bupati atau Walikota/Wakil Walikota apabila memenuhi syarat dukungan dengan ketentuan: a) kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 (dua ratus
lima puluh ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 6,5% (enam koma lima persen); b) kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) sampai dengan 500.000 (lima ratus ribu) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 5 % (lima persen); c) kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 4% (empat persen), dan d) kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 1.000.000 (satu juta) jiwa harus didukung sekurang-kurangnya 3% (tiga persen).
Pemohon mendalilkan ketentuan di atas berpotensi menghalangi terpilihnya Pemohon menjadi kepala daerah, tidak sejalan dengan semangat reformasi, membatasi ruang gerak warga negara yang ingin mencalonkan diri melalui jalur perseorangan, membatasi hak warga negara dalam ikut pemilihan kepala daerah, terlalu memberatkan calon perseorangan dan hanya calon yang bermodalkan uang besar, bukan berdasarkan kualitas, dan kapabilitas seorang calon.
Pendapat Mahkamah
Dalam pertimbangan hukumnya, MK memandang perbedaan persyaratan dukungan calon
antara partai politik dan non partai politik, di mana partai politik minimal mendapatkan kursi 15% di DPRD atau 15% dari seluruh suara sah dalam pemilu DPRD, sedangkan untuk dukungan bagi non partai politik adalah 6,5%, 5%, atau 4% dari jumlah penduduk secara proporsional, telah mencerminkan suatu keseimbangan. Mahkamah berpendapat bahwa tatacara yang demikian tidaklah bertentangan dengan prinsip demokrasi dan tidak pula bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945 yang didalilkan oleh Pemohon.
Mengenai dalil hanya mereka yang mempunyai banyak dana saja yang dapat ikut serta dalam pencalonan kepala daerah, MK berpendapat bahwa persoalan biaya yang didalilkan oleh Pemohon adalah persoalan pelaksanaan yang tidak menyangkut konstitusionalitas dari norma yang dimohonkan untuk diuji.
Dalil Pemohon yang menyatakan bahwa ketentuan yang dimohonkan untuk diuji dalam kasus a quo bertentangan dengan Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 tidaklah tepat karena pasal tersebut dimaksudkan untuk mereka yang karena keadaan khusus tidak dapat menikmati persamaan yang diberikan oleh UUD 1945 secara umum, sehingga terhadapnya perlu untuk mendapatkan perlakuan khusus, sedangkan Pemohon tidak mendalilkan mengapa terhadapnya harus mendapatkan perlakukan yang khusus. Oleh sebab itu dalil Pemohon a quo harus dikesampingkan.
“Konklusi, dalil-dalil permohonan Pemohon tidak beralasan hukum. Amar putusan mengadili, menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” pungkas Mahfud MD dalam putusan setebal 36 halaman ini. (Yazid)