Jakarta, MK Online - Terjadinya reformasi 1998 di Indonesia, karena bangsa Indonesia menghadapi tindak pidana korupsi yang sangat luar biasa di berbagai lini. Sampai sekarang korupsi masih menjadi penyakit yang sangat membahayakan.
“Sekarang ini, hampir tidak ada lembaga penegak hukum yang bisa dipercaya. Rakyat mengatakan, ‘Kalau Anda punya urusan, jangan berurusan dengan penegak hukum’. Selesaikan sendiri atau bikin hukum sendiri,“ ungkap Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD sebagai narasumber dalam Kongres Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ke-27, Selasa (9/11) di Depok.
Dijelaskan Mahfud lagi, sesseorang yang berurusan dengan hukum di Indonesia seringkali diperas dan diatur dengan harus membayar dalam jumlah tertentu. “Anda mau minta pasal berapa, Anda mau ditahan berapa lama, Anda minta dituntut beraoa, Anda nantinya di tahanan ingin tidur di kelas berapa?”
Mahfud mengatakan, persoalan korupsi kini menjadi ancaman besar bagi bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, ujar Mahfud, agenda paling utama dari bangsa Indonesia saat ini adalah pemberantasan korupsi.
“Karena kita melakukan reformasi 1998, hanya satu tujuannya yaitu memberantas korupsi. Latar belakangnya karena negara ini korup. Oleh sebab itu diatur untuk melakukan reformasi konstitusi, agar sistem politik kita bisa menutup peluang-peluang korupsi. Mari kita lakukan reformasi hukum, agar sistem hukum kita bisa menangkal peluang-peluang korupsi,” imbuhnya.
Lebih lanjut Mahfud mengungkapkan, ada dua kebijakan radikal dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia. Pertama, kebijakan ilustrasi nasional atau amputasi terhadap pejabat-pejabat, yakni memberhentikan dengan sebuah undang-undang semua pejabat dan aparat penegak hukum yang pada akhir era orde baru telah menduduki jabatan, pangkat dan umur tertentu.
“Setelah itu diangkat pejabat-pejabat baru yang bersih dan berani untuk menyelesaikan berbagai kasus korupsi secepatnya. Di sebagian negara kawasan Amerika Latin, kebijakan ilustrasi ini pernah dilakukan dan berhasil menurunkan indeks korupsi secara signifikan,” papar Mahfud.
Kebijakan kedua untuk memberantas korupsi, ungkap Mahfud, adalah kebijakan pengampunan atau pemutihan. Hal ini dipilih jika kebijakan ilustrasi nasional tak bisa dilakukan. Misalnya, karena hambatan atau penolakan dari internal pemerintah yang begitu kuat.
“Dengan kebijakan ini, semua kasus korupsi peninggalan masa lalu diampuni sehingga tidak lagi perlu proses hukum. Tentu saja, pengampunan ini disertai syarat-syarat tertentu, termasuk kemungkinan pengembalian kekayaan negara tanpa dipersoalkan lagi aspek pidananya,” ucap Mahfud.
Di luar dari dua kebijakan untuk memberantas korupsi itu, Mahfud mengungkapkan tindakan keras yang dilakukan pemerintah China terhadap para koruptor. Beberapa tahun terakhir, China telah menghukum mati atau memenjarakan ribuan pejabat karena terbukti melakukan korupsi.
“Tindakan tersebut ternyata efektif menurunkan angka korupsi sampai ke indeks yang jauh lebih kecil daripada sebelum 1998,” tegas Mahfud. (Nano Tresna A.)