Jakarta, MKOnline - Bagi hakim konstitusi, perbedaan pendapat dalam sebuah perkara menunjukkan independensi hakim. Hal ini disampaikan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati ketika menerima kunjungan Mahasiswa Fakultas Hukum Atma Jaya Yogyakarta, Rabu (3/11), di Gedung MK.
“Pada Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), seluruh hakim diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat (legal opinion). Jika salah satu hakim berbeda pendapat (dissenting opinion), maka ia diperbolehkan untuk tidak ikut dalam pembahasan selanjutnya. Semua ini menunjukkan adanya independensi hakim,” jelasnya.
Dalam kesempatan itu, Maria menjelaskan mengenai kewenangan MK seperti yang tercantum dalam Pasal 24C UUD 1945, yakni memutus pembubaran parpol, mengadili sengketa lembaga negara yang kewenangannya diatur dalam UUD 1945, menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum, dan memutus perkara impeachment Presiden dan/atau Wakil Presiden. “Kewenangan yang paling sering dilaksanakan MK adalah pengujian terhadap undang-undang serta penyelesaian hasil sengketa Pemilu baik pemilu legislatif maupun pemilu kepala daerah. Sedangkan untuk sengketa kewenangan antarlembaga negara (SKLN) baru diterima MK sebanyak 13 perkara sejak 2003,” ujarnya.
Untuk pengujian undang-undang, jelas Maria, MK berpegang pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK). Akan tetapi, lanjut Maria, terdapat satu pasal dalam UU MK yang dianulir sendiri oleh MK melalui putusan MK Nomor 066/PUU-II/2004 mengenai batasan undang-undang yang dimohonkan untuk diuji.
“Kalau saat itu, saya sudah menjadi hakim konstitusi, saya pasti termasuk hakim yang memberikan pendapat berbeda (dissenting point). Seharusnya undang-undang yang dapat diuji MK hanya terbatas pada undang-undang sebelum perubahan UUD 1945. Sedangkan untuk undang-undang sebelum perubahan seharusnya masuk dalam ranah legislative review, bukan judicial review. Tapi kini banyak manfaat dari putusan tersebut, kini semua undang-undang sebelum perubahan dapat diajukan ke MK terutama pasal berkaitan dengan HAM,” jelasnya.
Dalam kesempatan itu, Maria juga membahas mengenai isu terbaru yang sedang hangat dibicarakan media mengenai adanya dugaan suap di MK. Menurut Maria, transparansi MK sebagai sebuah lembaga peradilan untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi tentang MK banyak disalahgunakan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. “Misalnya saja dengan pencantuman perkara yang teregistrasi di situs MK. Hal itu dijadikan banyak pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memeras. Padahal berperkara di MK ini sama sekali tidak dipungut biaya alias gratis,” tandasnya. (Lulu Anjarsari/mh)