Jakarta, MKOnline - Sebuah undang-undang harus memenuhi materi muatan undang-undang. Jika tidak memenuhi muatan tersebut, maka lebih baik dituangkan dalam peraturan presiden atau peraturan menteri. Hal ini disampaikan oleh Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati ketika menerima kunjungan dari peserta Pelatihan Jabatan Fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Angkatan III Kementerian Hukum dan HAM (Kemenhukham), Senin (1/11), di Gedung MK.
“Seperti Rancangan Undang-undang Pramuka. Apakah memenuhi materi muatan undang-undang seperti tercantum dalam pasal 8 UU Nomor 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan? Apa pramuka berkaitan dengan hak asasi manusia? Apa pramuka itu juga merupakan hak dan kewajiban bagi warga negara? Akan lebih baik jika dituangkan dalam peraturan presiden atau peraturan menteri. Tidak banyak membuang anggaran. Apalagi kemarin studi bandingnya ke Afrika Selatan, kenapa bukan ke negeri asal Robert Baden Powell sebagai pendiri pramuka?” urai Maria.
Maria menjelaskan hierarki peraturan perundang-undangan, yakni UUD 1945, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Sebuah peraturan yang dikeluarkan oleh beberapa lembaga yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat (4) UU nomor 10/2004, lanjut Maria, tidak boleh bersifat ‘keluar’. “Keluar di sini mengandung arti tidak bisa mengikat kepada masyarakat umum, tetapi hanya mengikat terhadap dirinya sendiri. Semisal Mahkamah Konstitusi (MK) yang bisa mengeluarkan Peraturan MK. Tapi dalam peraturan MK tersebut hanya membatasi pada peraturan guna memperlancar fungsi dan kewenangan MK,” jelasnya.
Maria menyebutkan beberapa lembaga yang bersifat sama dengan MK dalam mengeluarkan peraturan. “MPR, DPR, MA, DPD, BPK, BI, DPRD, DPRD Kabupaten/Kota juga tidak bisa membuat peraturan yang bisa mengikat keluar,” jelasnya. (Lulu Anjarsari/mh)