Jakarta, MKOnline - Aliansi Nasional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Jum’at (29/10) pagi. Rombongan yang berjumlah kurang lebih 400 peserta ini, berasal dari 33 provinsi di Indonesia. “Mereka terdiri dari tokoh-tokoh adat, NGO, pemuka agama, budayawan dan akademisi,” ujar Bachtiar M. A Saleh salah satu fasilitator acara. Para peserta hadir dengan pakaian adat masing-masing daerah.
Dalam pertemuan tersebut, rombongan diterima oleh Ketua MK Moh. Mahfud MD didampingi Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati. Hadir pula pada kesempatan itu, Sekretaris Jenderal MK Janedjri M. Gaffar, Sekretaris Jenderal ANBTI Nia Sarifudin serta Koordinator Majelis Nasional Hermandari.
“Visi misi kami (ANBTI, red) adalah untuk menjaga keutuhan NKRI serta kebhinekaan. yang dilaksanakan sesuai Pancasila dan UUD 1945,” ujar Nia dalam penyampainnya. Adapun tujuan dari kunjungan ke MK, lanjutnya, adalah untuk menyampaikan pokok-pokok pikiran terkait kebangsaan dan kebhinekaan Indonesia. Sebelumnya, ANBTI telah menyelenggarakan simposium terkait hal tersebut dengan lima fokus kajian. Diantaranya, kebebasan beragama; penegakan hukum dan HAM; pemenuhan hak dasar; serta pengelolaan daerah perbatasan berbasis kekuatan maritim.
Adapun dalam paparannya, Mahfud mengutarakan, perbedaan-perbedaan yang ada, baik itu suku, agama, keyakinan, ras ataupun golongan haruslah dijadikan sebagai sarana bersatu dan memperkaya keberagaman, bukan sebagai pemecah-belah, atau bahkan pemicu konflik. “Ikatan-ikatan primordial itu harus diperlakukan sama dan harus dilindungi oleh konstitusi,” ungkapnya.
Ikatan-ikatan yang terwujud, sambung Mahfud, semestinya menjadi ikatan luhur yang penuh dengan toleransi.
Namun Mahfud menyayangkan, masih banyaknya pelanggaran-pelanggaran hukum, khususnya konflik terkait perbedaan yang selama ini terjadi. Menurut Mahfud, pelanggaran-pelanggaran ataupun konflik-konflik tersebut terjadi bukanlah diakibatkan kesalahan konsep ataupun pengaturan, malainkan penerapan yang belum optimal. “Dari sudut konsep sudah selesai. Masalahnya ada pada implementasi,” ingatnya.
Berkaitan dengan keinginan para peserta agar MK bersifat aktif me-judicial review Undang-Undang (UU) yang bermasalah, Mahfud menyatakan, sebaiknya MK tetaplah bersifat pasif. MK, menurut Mahfud, didesain untuk bersifat pasif. Harus ada permohonan terlebih dahulu sebelum dilakukan pengujian konstitusionalitas UU oleh MK. “Agar ada saling kontrol yang bagus,” ujarnya. “Iya kalo yang duduk di MK orang-orang baik semua, kalo nanti para bandit bagaimana?” seloroh Mahfud, ketika menjelaskan tentang bahayanya jika MK memiliki kekuasaan terlalu besar, termasuk aktif menguji UU tanpa permohonan.
Dalam pertemuan itu juga dibacakan ‘Resolusi Jakarta’. “Hapuskan semua bentuk diskriminasi berdasarkan keyakinan dan agama. Menghentikan segala bentuk privatisasi dan menasionalisasi aset-aset negara di bawah pengawasan rakyat,” tutur Alwi, saat membacakan salah satu poin dalam resolusi tersebut. (Dodi/mh).